BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam konteks pembahasan Ushul Fiqh kita tidak bisa
terlepas dari mashadir al-syari’ah atau ushul
al-ahkam atau adillat al-ahkam atau yang sering kita
sebut sumber-sumber pengambilan hukum.
Mahmud ‘Abd al-Karim Hasan mengemukankan bahwa
sebagaimana ushul fiqh, mashadir al-syariah haruslah sesuatu
yang jelas dan pasti. Karena mashadir al-syariahadalah bagian
dari prinsip dasar (al-ushul al-kulliyat) sebagaimana aqidah, tidak
dapat dijadikan pedoman hanya karena berdasarkan zhann (persangkaan)[1]
Pembagian hukum-hukum syari’at sendiri dapat kita
klasifikasikan menjadi tiga yakni, sesuatu yang telah disepakati semua ulama
tanpa terkecuali sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Yang kedua yakni sumber hukum syari’at yang disepakati mayoritas ulama sebagai
sumber hukum syari’at, yaitu ijma’ dan qiyas. Kemudian, sesuatu yang menjadi
perdebatan para ulama, bahkan mayoritasnya, yaitu ‘urf, istishhab, istihsan,
mashlahah mursalah, syar’u man qablana dan madzhab sahabat.
Namun dalam pembahasan ini kami hanya akan menyinggung
hal-hal yang berkaitan dengan sumber hukum-hukum syari’at yang disepakati oleh
semua ulama, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri merupakan sumber hukum
yang paling tinggi derajatnya dalam islam, olehnya itu sudah menjadi keniscayaan
untuk kita mengetahui pengertian, kedudukan dan fungsi dari keduanya.
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian,
kedudukan dan fungsi al-Qur’an
2. Apa itu
muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an?
3. Pengertian,
kedudukan dan fungsi al-Hadits
4. Apakah
hubungan antara al-Hadits dan al-Qur’an?
C. Tujuan dan
Manfaat
1. Tujuan :
· Memberi
kita pengetahuan tentang pengertian, kedudukan dan fungsi al-Qur’an dan
as-Sunnah dalam hukum syari’at islam.
· Memberikan
kita pengetahuan tentang muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an.
· Memberikan
kita pengetahuan tentang adanya hubungan antara al-Hadits dan al-Qur’an.
2. Manfaat :
· Agar kita
dapat mengetahui pengertian, kedudukan dan fungsi al-Qur’an dan as-Sunnah
dalam hukum syari’at islam.
· Agar kita
dapat mengetahui muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an.
· Agar kita
mengetahui hubungan antara al-Hadits dan al-Qur’an.
D. Batasan
Masalah
Agar penulisan dan pembahasan makalah ini tidak
menyimpang dan mengembang dari tujuan yang semula diinginkan, maka penulis
menetapkan batasan masalah sebagai berikut:
1. Sumber
hukum islam yakni al-Qur’an hanya dibahas seputar pengertian, kedudukan dan
fungsinya saja.
2. Muhkam dan mutasyabih dibatasi
hanya seputar pengertian dan contohnya.
3. Sumber
hukum islam kedua yakni al-Hadits dibatasi pembahasannya hanya pada pengertian,
kedudukan dan fungsinya.
4. Hubungan
antar al-Hadits dan al-Qur’an dibatasi hanya seputar pembagian dan
contoh-contoh sederhananya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an
1. Pengertian,
Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an
Pengertian
Secara bahasa, al-Qur’an adalah bentuk masdar yang bermakna qiraa’ah (bacaan),
yang dalam pengertian lebih jauh diungkapkan sebagai kumpulan dari kalam Allah
swt. yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedang menurut terminologi, al-Qur’an
adalah kalam Allah swt. yang berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. sebagai mu’jizat melalui perantara malaikat Jibril yang kemudian tertulis
di lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya merupakan sebuah ibadah.
Kedudukan
Al-qur’an adalah dalil yang awal dan utama dalam
perujukan dan penetapan hukum dalam islam. Al-Qur’an merupakan pokok ajaran
islam, dasar aqidah, sumber syari’at dan petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa.
Dapat dijabarkan bahwa kedudukan al-Qur’an di dalam
islam sebagai berikut:
a) Al-Qur’an
sebagai sumber berbagai disiplin ilmu keislaman.
Disiplin ilmu yang bersumber dari al-Qur’an di
antaranya yaitu:
1. Ilmu Tauhid
(Teologi)
2. Ilmu Hukum
3. Ilmu
Tasawuf
4. Ilmu
Filasafat Islam
5. Ilmu
Sejarah Islam
6. Ilmu
Pendidikan Islam
b) Al-Quran
sebagai Wahyu Allah SWT yaitu seluruh ayat al-Qur’an adalah
wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari
perkataan atau pikiran Nabi.
c) Kitabul
Naba wal akhbar (Berita dan Kabar) arinya, al-Qur’an merupakan khabar yang di
bawah nabi yang datang dari Allah dan di sebarkan kepada manusia.
d) Minhajul
Hayah (Pedoman Hidup), sudah seharusnya setiap Muslim menjadikan al-Qur’an
sebagai rujukan terhadap setiap problem yang di hadapi.
e) Sebagai
salah satu sebab masuknya orang arab ke agama Islam pada zaman rasulallah dan
masuknya orang-orang sekarang dan yang akan datang.
f) Al-Quran
sebagai suatu yang bersifat Abadi artinya, al-Qur’an itu tidak akan terganti
oleh kitab apapun sampai hari kiamat baik itu sebagai sumber hukum, sumber ilmu
pengetahuan dan lain-lain.
g) Al-Qur’an
di nukil secara mutawattir artinya, al-Qur’an disampaikan
kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan
berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.\
h) Al-Qur’an
sebagai sumber hukum, seluruh mazhab sepakat al-Qur’an sebagai sumber utama
dalam menetapkan hukum, dalam kata lain bahwa al-Qur’an menempati posisi awal
dari tertib sumber hukum dalam berhujjah.
i) Al-Qur’an
di sampaikan kepada nabi Muhammad secara lisan artinya, baik lafaz ataupun
maknanya dari Allah SWT.\
j) Al-Qur’an
termaktub dalam Mushaf, artinya bahwa setiap wahyu Allah yang lafaz dan
maknanya berasal dari-Nya itu termaktub dalam Mushaf (telah di bukukan).
k) agama islam
datang dengan al qur'annya membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka
manyadari jati diri dan hakikat hidup di muka bumi.
Fungsi
Sementara fungsi al-Qur’an sendiri dapat kita tinjau
dari dua sudut, yakni, dari sudut substansi dan realitas di dalam kehidupan
manusia yang mana semuanya tersurat di dalam al-Qur’an itu sendiri sebagai
berikut:
a) Fungsi
Al-Qur’an dari sudut subtansinya:
1. Al-Huda
(petunjuk), Dalam al-Qur'an terdapat tiga kategori tentang posisi
al-Qur'an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua,
al-Qur'an adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Ketiga, petunjuk bagi
orang-orang yang beriman.
2. Al-Furqon
(pemisah), Dalam al-Qur'an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk
membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara
yang benar dan yang salah.
3. Al-Asyifa
(obat). Dalam al-Qur'an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi
penyakit-penyakit yang ada dalam dada (mungkin yang dimaksud disini adalah
penyakit Psikologis)
4. Al-Mau’izah
(nasihat), Di dalam al-Qur’an di katakan bahwa ia berfungsi sebagai
penasihat bagi orang-orang yang bertakwa.
b. Fungsi
Al-Qur’an di lihat dari realitas kehidupan manusia:
1. Al-Qur’an
sebagai petunjuk jalan yang lurus bagi kehidupan manusia
2. Al-Qur’an
sebagai mukjizat bagi Rasulallah SAW
3. Al-Qur’an
menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang membedakannya
dari makhluk lain
4. Al-Qur’an
sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya
5. Menjelaskan
kepada manusia tentang masalah yang pernah di perselisikan ummat Islam
terdahulu
6. Al-Qur’an
brfungsi Memantapkan Iman
7. Tuntunan
dan hukum untuk menempuh kehiduapan
2. Muhkam dan
Mutasyabih
Di dalam al-Qur’an terdapat klasifikasi atau
pengelompokan ayat muhkam dan mutasyabih. Namun
mengenai maksud dari muhkam dan mutasyabih para
ulama banyak yang berbeda pendapat, kami hanya akan mengutip pendangan imam
Al-Ghazali yang telah mentashihkan pengertian dari muhkam dan mutasyabih sebagai
berikut:
1. Al-Muhkam adalah
ayat-ayat yang maknanya lugas, tidak menimbulkan isykaal, tanda
tanya dan dualisme makna. Sedang al-Mutasyabih adalah
sebaliknya.
2. Al-Muhkam adalah
ayat-ayat yang susunan kalimatnya jelas, memberikan kefahaman dari zhahirnya atau
pentakwilan yang tidak menimbulkan kesimpangsiuran makna. Namun, al-muhkam dengan
pengertian kedua ini adalah kalimat dengan susunan yang kacau dan kalimat yang
tidak memberikan kefahaman secara jelas.[2]
B. Al-Hadits
1. Pengertian,
Kedudukan Hadits dan Fungsi
Pengertian
Hadits menurut bahasa (lughah) memiliki beberapa
pengertian, yakni:
1) Jadid
memiliki arti yang baru
2) Qarib
memiliki arti yang dekat, yang beluum lama terjadi
3) Khabar atau
warta, atau sesuatu yang di perbincangkan serta dipindahkan dari seseorang ke
orang lainnya.
Dari makna khabar tersebut maka diambillah ungkapan
“Hadits Rasulillah”. Hadits yang memiliki makna khabar ini, diambil dari kata
bahasa arab yaitu Haddatsa, Yuhaditsu, Tahdits, yang memiliki makna riwayat
atau ikhbar atau mengabarkan.
Sedang menurut istilah pengertian hadits dapat dilihat
dari dua hal yakni, pengertian hadits menurut para ahli hadits dan pengertian
hadits menurut ahli ushul fiqh.
Pengertian Hadits Menurut Para Ahli Hadits ada dua,
yakni pengertian Hadits yang terbatas serta pengertian Hadits yang luas.
Pengertian Hadits yang terbatas merupakan sesuatu yang
telah disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik itu berupa perkataan,
perbuatan, sampai pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Sedangkan Pengertian Hadits yang luas, merupakan
Hadits yang tidak hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW semata, akan
tetapi pula mencakup perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada
para sahabat atau tabi’in. sehingga dalam Hadits terdapat istilah marfu’ yang
berarti (yang disandarkan kepada nabi), dan manqul (yang disandarkan kepada
sahabat), serta maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’i).
Menurut Ahli Ushul, Hadits merupakan “segala
perkataan, perbuatan serta ketetapan Nabi yang bersangkut paut dengan hukum”.
Maka menurut mereka, tidak termasuk Hadits sesuatu
yang tidak tersangkut paut dengan hukum, seperti masalah dalam kebiasaan
sehari-hari atau adat istiadat.
Kedudukan
Para ulama telah sepakat bahwanya Hadits Nabi
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah kitab suci Al-Qur’an, serta
umat Islam wajib melaksanakan isinya.
Banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukan bahwa
Hadits/sunah Nabi merupakan salah satu sumber dari hukum Islam. Banyak ayat
yang mewajibkan kepada umat Islam agar mengikuti ajaran Rasulullah SAW, yaitu,
dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya serta menjauhi segala
larangannya.
Tuhan telah memerintahkan kita untuk mengikuti rasul
sebagai mana Tuhan memerintahkan kita menaati-Nya sendiri. Bahkan Allah SWT
mengancam orang-orang yang menyalahi rasul.
Fungsi
Fungsi Hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua
setelah kitab suci Al-Qur’an menurut pandangan Para Ulama terdapat tiga, yakni
:
a) Hadits
berfungsi untuk memperkuat Al-Qur’an. Kandungannya sejajar dengan Al-Qur’an
dalam hal mujmal serta tafshilnya. Dengan kata lain Hadits hanya mengungkapkan
kembali apa yang terapat dalam Al-Qur’an, tanpa menambah ataupun menjelaskan
apapun.
b) Hadits
berfungsi untuk menjelaskan atau merinci aturan-aturan yang telah digariskan
oleh Al-Qur’an. Fungsi yang kedua ini merupakan fungsi yang dominan dalam
Hadits.
c) Hadits
berfungsi untuk menetapkan hukum yang baru yang belum diatur secara eksplisit
di dalam kitab suci Al-Qur’an.
2. Hubungan
antara Al-Hadits dan Al-Qur’an
Hubungan hadits dengan al-qur’an – Dalam hukum Islam,
Hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an .
Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh
tiga hal, yaitu al Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal
sehat (ma`qul).
Al Qur`an menunjuk Nabi sebagai orang yang harus
menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang
disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai Rasul harus
diteladani kaum muslimin sejak masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat
untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan
petunjuk operasional.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula
dengan kenyataan bahwa al-Qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan
petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai
sumber kedua secara logika dapat diterima.
Al-Qur`an dan al-hadits merupakan dua sumber yang
tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. As-Sunnah
berfungsi sebagai penguat hukum
Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh
hukum yang dinyatakan oleh al-Quran.
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber
dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam al-Qur’an
dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati
perintah dan larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan
Allah, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.
2. As-Sunnah
itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci
Hubungan hadits dengan al-Qur’an – sebagai penafsir
atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam al-Qur’an, atau
memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dari ayat-ayat al-Qur’an yang
muthlaq dan ‘am. Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari as-Sunnah
itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap
nash-nash al-Qur’an dengan firman-Nya.
“Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,
agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”. [An-Nahl: 44]
Diantara contoh As-Sunnah men-takhshish al-Qur’an
adalah:
“Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan“. [An-Nisaa: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh as-Sunnah:
Para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk
anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah. tidak boleh
orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan..
pembunuh tidak mewariskan apa-apa [Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ibnu
Majah]
3. Hadits
membatasi kemutlakan ayat al-Qur`an
Hubungan hadits dengan al-Qur’an –
“Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya..” [Al-Maidah: 38].
Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas
tangan yang akan di potong. Maka dari as-Sunnahlah didapat penjelasannya, yakni
sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam 4: 53-55).
4. Hadits
memberikan pengecualian terhadap pernyataan al-Qur`an yang bersifat umum
Hubungan hadits dengan al-qur’an – Misalnya al-qur`an
mengharamkan memakan bangkai dan darah:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan
pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan.
(Q.S Al Maidah /5:3).
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan
memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu
(hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda :
”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah
ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR. Ahmad, Syafii, Ibn
Majah, Baihaqi dan Daruqutni).
5. Hadits
menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-qur`an
Hubungan hadits dengan al-qur’an – al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti.
Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang
belum ditetapkan oleh al-Qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan
semua burung yang bercakar. (HR. Muslim dari Ibn Abbas).
Juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan
cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadith-hadith yang
shahih. Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-Qur’an
dengan as-Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum islam
tertinggi. Al-Qur’an sendiri merupakan kitab peraturan tertinggi islam dimana
as-Sunnahlah yang berperan untuk memberikan penjelasan lebih konkret mengenai
maksud dari al-Qur’an.
Olehnya takdapat kita sangsikan bahwa kedua sumber
hukum ini memiliki hubungan, dari kedua sumber hukum ini sudah dapat memberi
kita kejelasan terhadap suatu hukum, meski dalam hal ini masih ada
sumber-sumber hukum dalam islam lainnya.
Sumber-sumber hukum islam selain al-Qur’an dan
as-Sunnah sendiri dapat dikatakan mengambil ketetapan sesuai dengan konsep
hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Umar, dkk. 2008. Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam. Kediri. Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidauatullah
Mubtadi-ien, PP. Lirboyo.
Mahmud ‘Abd al-Karim Hasan. 1995. Al-Mashalih
al-Mursalat, DirashTahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa Ushuliyyah ma’a
Amtsilah Tathbiqiyyah. Dar al-Nahdlah Al-Islamiyyah. Beirut.
[1] Mahmud ‘Abd al-Karim
Hasan, Al-Mashalih al-Mursalat, DirashTahliliyyah wa Munaqasyah
Fiqhiyyah wa Ushuliyyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyyah, Beirut: Dar
al-Nahdlah Al-Islamiyyah, 1995 hlm. 19.
[2] Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut,
Dar al-Fikr, tt. Juz I hlm. 106.
DOSEN PEMBIMBING
Jamaludin Junaid, Lc, MA
DISUSUN OLEH
Muh. Yahya Saraka
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
2016/2017
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances