MAKALAH
HADITS
ETIKA
SOSIAL BERTETANGGA
DOSEN PEMBIMBING :
Anshor Bahary, S.Th.i, MA
DISUSUN
OLEH :
Muh. Yahya Saraka
Nim: 151211105
INSTITUT
PTIQ JAKARTA
FAKULTAS
DAKWAH
KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji hanya milik Allah SWT. yang telah memberikan kita begitu banyak
nikmat, khususnya nikmat Islam, iman dan taqwa. Shalawat serta salam tak lupa
pula kita kirimkan ke haribaan Baginda Rasulullah SAW, nabi yang senantiasa
memberikan kita contoh teladan dalam kehidupan kita di dunia.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
kepada seluruh pihak yang telah membatu kami dalam proses penyusunan makalah
ini hingga dapat terselesaikan tepat waktu. Khususnya kepada Dosen mata kuliah
Hadits. Ustdadz Anshor Bahary, MA.
yang senantiasa membimbing kami semua dalam hal penyusunan makalah dengan baik.
Adapun makalah ini kami susun untuk sedikit memberi kita
pengetahuan tentang hadits nabi yang berkaitan tentang “Etika Sosial;
Bertetangga”, di samping itu penyusunan makalah kami ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Hadits.
Kami sebagai penulis menyadari,
bahwa dalam makalah kami ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
olehnya itu, kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sekalian agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih
baik lagi.
Jakarta, 13 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................ i
Daftar
Isi........................................................................................................ ii
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Definisi Etika Sosial Bertetangga....................................................... 2
C.
Hadits Etika Sosial Bertetangga......................................................... 4
D.
Kesimpulan....................................................................................... 10
Daftar
Pustaka.............................................................................................. 11
A. LATAR
BELAKANG
Rasulullah SAW adalah manusia yang sempurna
akhlak dan budi pekertinya, teladan bagi kita semua, bukan hanya ummat islam,
melainkan orang-orang di luar islam pun mengambil pelajaran dari setiap
berkataan, ketetapan dan sikap/perbuatan beliau. Olehnya itu, sudah menjadi
keniscayaan untuk senantiasa mengkaji, mempelajari dan mengamalkan
haidts-hadits beliau.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
tanpa ada interaksi dengan manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga dalam
kehidupan sehari-hari seorang muslim sangat dibutuhkan.
Dalam hal sosial, khususnya bertetangga, yang
dimana sering kita jumpai permasalahan-permasalahan di dalamnya, Rasulullah pun
senantiasa mengajarkan kepada kita, bagaimana sebaiknya bersikap.
Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba untuk
menyinggung hadits Rasulullah yang berkaitan tentang “Etika Sosial;
Bertetangga”. Namun sebelumnya, kami akan membahas pengertian etika, sosial dan bertetangga
dalam persfekti ilmu bahasa Indonesia, agar dapat memberi kita gambaran yang
lebih konkrit mengenai pembahasan ini.
Di samping itu, kita perlu mengetahui hal-hal
lain yang berkaitan tentang hadits tersebut, baik dari segi arti, penjelasan,
asbabul wurud begitupula ‘ibrah yang dapat kita petik setelah mengetahui
kandungannya.
Akhirnya, semoga kita bisa mendapat manfaat dari setiap yang kita
pelajari nantinya, adapun pembahasan secara rinci akan kami paparkan dalam
bab-bab selanjutnya.
B. DEFINISI
ETIKA SOSIAL BERTETANGGA
1.
Definisi
Etika
Etika berasal dari
bahasa Yunani kuno yakni "ethikos"
yang berarti "timbul
dari kebiasaan". Sedang menurut istilah, etika adalah sesuatu
di mana dan bagaimana mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika
cenderung melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[1]
2.
Definisi Sosial
Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, pengertian sosial adalah sesuatu yang mempelajari tentang
segala hal yang berkenaan dengan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa
sosial mencakup segala hal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat, seperti,
sifat, prilaku dan lain-lain.
3.
Definisi Bertetangga
Bertetangga
berasal dari kata dasar tetangga, yang berarti orang (rumah) yang rumahnya
berdekatan atau sebelah-menyebelah.[2]
Sedang tetangga dalam
pandangan islam berarti orang
yang bersebelahan secara syar’i, baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau
jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan
kerabat atau bukan.
Ibnu hajar Al Asqalaaniy
menyatakan: “Nama tetangga meliputi semua orang islam dan kafir, ahli ibadah
dan fasiq, teman dan lawan, warga asing dan pribumi, orang yang bermanfaat dan
merugikan, kerabat dan bukan kerabat dan dekat rumahnya atau jauh. Tetangga
memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya.”[3]
Adapun batasannya
masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah[4]:
1. Batasan tetangga yang
mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh
Aisyah , Azzuhriy dan Al Auzaa’iy.
2. Sepuluh rumah dari
semua arah.
3. Orang yang mendengar
adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Ali bin Abi Tholib .
4. Tetangga adalah yang
menempel dan bersebelahan saja.
5. Batasannya adalah
mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang
lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua
riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbicara mengenai
batasan tetangga adalah lemah atau tidak ada yang shahih. Maka zhahirnya,
pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf”[5].
Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al ‘urfu haddu maa
lam yuhaddidu bihi asy syar’u (adat kebiasaan adalah pembatas bagi
hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat). Sehingga, yang tergolong tetangga
bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap
sebagai tetangga kita.
Jadi dapat
disimpulkan, bahwa Etika Sosial; Bertetangga adalah sikap perbuatan kepada
setiap orang yang berada pada ruang lingkup tetangga yang mencerminkan tingkah
laku dalam masyarakat.
C. HADITS
ETIKA SOSIAL BERTETANGGA
Agama Islam menaruh perhatian yang sangat besar kepada pemeluknya
dalam segala hal dan urusan. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi, semua
tidak luput dari ajarannya. Tak terkecuali dalam masalah adab. Berikut ini
diantara adab-adab seorang muslim kepada tetangganya di dalam hadits Rasulullah
yang patut kita perhatikan.
1. Hadits
I :
وفي روا ية لمسلم : ( لَا يَدْ خُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْ
مَنُ جَا رُهُ )
Arti :
Telah
menceritakan kepada kami Ashim bin Ali telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Dzi’ib dari Said dari Abu Syuraih
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, tidak
beriman, Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman.” Ditanyakan
kepada beliau; “siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?” beliau bersabda:
“Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.” Riwayat
ini dikuatkan pula oleh Syababah dan Asad bin Musa. Dan berkata Humaid bin
Al-Aswad, Utsman bin Umar, Abu Bakr bin ‘Ayyasy dan Syu’aib bin Ishaq dari Ibnu
Abu Dzi’ib dari Al-Maqburi dari Abu Hurairah.”
Dalam
riwayat lain dari Muslim dinyatakan, “tidak akan masuk surga orang yang
tetangganya tidak merasa tenang dari gangguannya.[6]
a)
Kata/kalimat yang dianggap perlu penjelasan
·
Adalah bentuk fi’il mudhari’ dari akar
kata أَمِنَ yang berarti “aman, tenteram atau sentosa. Namun dari hadits di atas
kata lebih merujuk pada arti aman.
·
البَوَائِقَ adalah makna plural dari kata بَا ئِقَة yang berarti malapetaka, sesuatu yang membinasakan dan datang
tiba-tiba. Namun dalam kitab Riyadu Shalihin dijelaskan bahwa makna البَوَائِقَ adalah culas,
khianat, zhalim dan jahat.
b)
Penjelasan
Singkat Hadits
Setelah mengetahui dengan jelas hadits di
atas, kita sudah dapat mengerti makna dan implementasinya, ada beberapa
penjelasan di dalam berbagai kitab yang akan kami jelaskan sebagai
berikut.
Syaikh
Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat
itu ( البَوَائِق culas, khianat, zalim dan jahat), maka ia bukanlah seorang mukmin.
Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga
dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam
bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu
dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga
dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang
mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin
dalam masalah ini”[7]
Dalam hadits di atas terdapat penekanan
besarnya hak tetangga, karena Beliau sampai bersumpah tentang hal itu. Bahkan
Beliau mengulangi sumpahnya sampai tiga kali. Dalam hadits tersebut juga
terdapat isyarat penafian iman dari seseorang yang menyakiti tetangganya, baik
dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Maksud (penafian disini) adalah
(penafian) iman yang sempurna, dan tidak diragukan lagi bahwa seorang yang
bermaksiat keimanannya tidak sempurna.[8]
Namun dalam
hadits lain[9]
disebutkan “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah, … Disebutkan
diantaranya: “Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu)
oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah
boleh kematian atau keberangkatannya”
Berbuat ihsan
(baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang.
Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin
tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun,
termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan
imannya.
c)
‘Ibrah
Dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa
pentingnya menjaga kerukunan antar tetangga, yang menekankan tentang keimanan
seorang dapat hilang atau tidak sempurna dikarenakan perkataan atau
perbuatannya yang menggangu tetangganya.
Dengan mengamalkan hadits di atas secara langsung kita akan terhindar
dari pebuatan zalim kepada tetangga, yang dimana perbuatan zalim adalah
perbuatan keji yang hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat.
Manfaat lain yang dapat kita petik setelah mengetahui hadits ini
adalah, kita akan senantiasa berhati-hati dalam kehidupan sosial kita,
khususnya dalam hal bertetangga, karena dikhawatirkan perkataan atau perbuatan
yang kita anggap baik malah mengganggu atau dapat menzalimi tetangga kita.
2. Hadits
II :
Arti :
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu
al-Ahwash dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barang siapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau
diam.
a)
Kata/kalimat
yang dianggap perlu penjelasan
·
من كا ن يؤ من با لله واليوم الا خر “maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang
sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan
membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam”
karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut
kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.”
·
يُؤْ ذِ berasal dari kata أَ ذَى yang berarti menyakiti.[10],
dapat juga diartikan “tertimpa bahaya (ringan) atau sesuatu yang menyakiti,
merugikan atau menyusahkan.”[11]
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ menyatakan
adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi
perilaku yang tidak baik terhadap mereka, dalam arti lain dengan memuliakan
mereka.
·
فَلْيَقُلْ
خَيْرًاأَوْلِيَصْمُتْ menunjukkan
bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih
utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata
benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini
mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran
kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan
orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik
dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang
yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.
b)
Penjelasan
Singkat Hadits
Berkata al-Hafizh (yang artinya): “Syaikh Abu Muhammad bin Abi
Jamrah mengatakan, ‘Dan terlaksananya wasiat berbuat baik kepada tetangga
dengan menyampaikan beberapa bentuk perbuatan baik kepadanya sesuai dengan
kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang berseri-seri ketika bertemu, memperhatikan
keadaannya, membantunya dalam hal yang ia butuhkan dan selainnya, serta menahan
sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai macam cara, baik secara
hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat).’”[13]
c)
‘Ibrah
Setelah mengetahui hadits ini, kita dapat memetik pelajaran
berharga di antaranya:
1.
Iman
terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari.
2.
Islam
menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang
dikalangan individu masyarakat muslim.
3.
Termasuk
kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik dan diam dari selainnya .
4.
Berlebih-lebihan
dalam pembicaraan dapat menyebabkan kehancuran, sedangkan menjaga pembicaraan
merupakan jalan keselamatan.
5.
Islam
sangat menjaga agar seorang muslim berbicara apa yang bermanfaat dan mencegah
perkataan yang diharamkan dalam setiap kondisi.
6.
Tidak
memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan, karena hal tersebut dapat menyeret
kepada perbuatan yang diharamkan atau yang makruh.
7.
Termasuk
kesempurnaan iman adalah menghormati tetangganya dan memperhatikanya serta
tidak menyakitinya.
8.
Wajib
berbicara saat dibutuhkan, khususnya jika bertujuan menerangkan yang haq dan
beramar ma’ruf nahi munkar.
9.
Memuliakan
tamu termasuk diantara kemuliaan akhlak dan pertanda komitmennya terhadap
syariat Islam.
10. Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.
D.
KESIMPULAN
Setelah mengetahui
penjelasan hadits-hadits di atas, kita dapat menarik kesimpulan, betapa
pentingnya bertutur kata dan berperilaku baik kepada semua orang, terlebih
kepada tetangga kita sendiri.
Betapa pentingnya
menjaga kerukunan dalam bertetangga, hingga Rasulullah bersumpah sebanyak 3
kali dalam haditsnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keimanan seseorang
bisa tidak sempurna apabila ia menyakiti/menzalimi tetangganya, baik dari
perkataan maupun perbuatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir. 1984.
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Al- Asqalani, Ibnu Hajar.
1997. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari. Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Bukhari, Imam Abdullah
Muhammad bin Ismail. 2003. Shahih Bukhari. Daarut Taqwa.
An-Nawawi, Imam & Abu
Zakariyah Yahya bin Syaraf. 2005. Riyadhush
Shalihin min Kalam Sayyidil Mursalin. Jakarta:
Bening Publishing.
Eka Darmaputera. 1987. Etika
Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Mahmud Yunus. 2010. Kamus
Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah.
Muhsin Khan, Dr. Muhammad. 1971. Shahih Al-Bukhari
Arabic-English Vol. I.
Pakistan: Gujranwala Cantt.
Muslim, Abi Husain. 2008. Shahih
Muslim. Mesir: ‘Ibari Rahman.
Sharia, Atef. 2016. Mu’jam
Ma’ani Kamus Arabic. Al-Maany. Jordan.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances