MAKALAH SEJARAH
PERADABAN ISLAM
KHULAFA AR-RASYIDIN
ALI BIN ABI THALIB
DOSEN PEMBIMBING
:
Drs. HM. Maftuchin Abbas, MA
DISUSUN OLEH :
Muh. Yahya Saraka
INSTITUT PTIQ
JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM
2016//2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
SWT. yang telah memberikan kita nikmat yang begitu besar, berupa nikmat Islam
dan iman. Shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan ke haribaan baginda
Muhammad SAW, yang dengannya kita dapat merasakan betapa indahnya Islam.
Ucapan terima kasih kami kepada seluruh
pihak yang senantiasa memberi bantuan
dan dukungan, khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Sejarah Peradaban
Islam, bapak Drs. HM. Maftuchin Abbas,
MA, yang senantiasa memberi kami saran dan masukan dalam hal penyusunan
makalah Sejarah Peradaban Islam.
Makalah ini kami susun untuk menyegarkan
kembali ingatan kita tentang sejarah para Khalifah dimasa lalu, khususnya
kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, tentang perjuangan beliau dalam memimpin
islam kala itu. Di samping itu penyusunan makalah kami ini juga didasari oleh
adanya tugas yang diberikan kepada kami dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban
Islam untuk membahas tentang sejarah Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa
dalam makalah kami ini masih terdapat banyak kesalahan dari berbagai aspek. Olehnya itu kami memohon
dengan hormat kepada seluruh pembaca
agar dapat memberikan masukan ataupun kritikan yang bersifat membangun, agar
dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Jakarta, 12 Oktober
2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i....
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan dan Manfaat.......................................................................... 2
BAB II
Pembahasan
A. Perpecahan Ummat Islam.................................................................. 3
B. Munculnya Sekte-Sekte (Syiah-Khawarij)...................................... 10
C. Akhir Masa Khulafa Ar-Rasyidin................................................... 12
BAB III Penutup
A. Kesimpulan...................................................................................... 14
Daftar Pustaka................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Imam Ali r.a merupakan anak dari Abu
Thalib, saudara kandung dari Abdullah ayah
Nabi Muhammad SAW. Abdul Muththalib
bin Hasyim adalah kakek dari Nabi Muhammad SAW dan imam Ali r.a.
Mengenai
hari lahir imam Ali r.a., berbagai sumber riwayat berbeda pendapat, tetapi
sebagian besar mengatakan bahwa ia lahir pada hari jumat malam tanggal 10 bulan
Rajab.
Sepeninggal
Rasulullah SAW, imam Ali r.a adalah kandidat terkuat untuk menjadi khalifah
saat itu, dikerenakan adanya ketetapan dari Nabi jauh sebelum Beliau wafat,
yang menegaskan bahwa Ali r.a adalah satu-satunya penerus kekhalifaan yang sah[1].
Namun jika kita tinjau dari sisi lain, bahwa yang mengantikan Nabi menjadi imam
shalat pada saat Nabi sakit dan tidak dapat ke masjid adalah Abu Bakar r.a,
yang mengindikasikan bahwa Abu Bakar r.a adalah orang yang dipercaya oleh Nabi
SAW untuk memimpin ummat Islam sepeninggal beliau.
Permasalahan
yang dihadapi imam Ali r.a sangatlah berbeda dengan apa yang dihadapi oleh
Khalifah-Khalifah sebelumnya. Timbulnya perpecahan dalam diri Islam menjadikan
beliau harus bersabar, bijaksana dan tegas dalam semua sendi kepemerintahannya
karena yang diperangi beliau bukan lagi orang-orang kafir yang ingin menjatuhkan
Islam, melaikan para sahabat Nabi, bahkan istri Nabi sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja
permasalahan-permasalahan yang dihadapi imam Ali r.a ?
2.
Apa penyebab munculnya
sekte-sekte dalam Islam (Syiah-Khawarij)?
3.
Bagaimana keadaan
pada akhir masa Khulafa ar-Rasyidin?
C.
Tujuan dan Manfaat
1.
Tujuan :
·
Memberikan kita
pengetahuan tentang perjuangan imam Ali r.a mengatasi perpecahan dalam diri Islam.
·
Memberikan kita
pengetahuan tentang awal mula dan penyebab munculnya sekte-sekte dalam Islam
(Syiah-Khawarij).
·
Memberikan kita
pengetahuan tentang bagaimana keadaan pada akhir masa Khulafa ar-Rasyidin.
2.
Manfaat :
·
Agar kita
mengetahui perjuangan Imam Ali mengatasi perpecahan ummat Islam.
·
Agar kita dapat
mengetahui awal mula dan penyebab munculnya sekte-sekte dalam Islam (Syiah-Khawarij).
·
Agar kita
mengetahui bagaiman keadaaan pada akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perpecahan Ummat Islam
Perpecahan ummat Islam tak dapat
dipisahkan dari berbagai perang saudara yang terjadi selama masa kekhalifaan
Ali r.a. Bermula ketika perang Unta meletus, kemudian diikuti oleh perang
Shiffin dan diakhiri dengan perang Nahrawan. Semua itu menjadi catatan kelam
sejarah Islam hingga saat ini dan tak dapat kita lupakan.
Kami akan menjelaskan lebih detail
tentang peperangan-peperangan yang mengakibatkan perpecahan dalam Islam sebagai
berikut :
1.
Perang Jamal
Setelah wafatnya Khalifah Utsman r.a,
pembaiatan Ali r.a sebagai Khalifah segera dilakukan. Orang-orang yang
sebelumnya memberontak lambat laun melemah dan mendekati Ali r.a agar segera
mengusut tuntas dan menghukum pembunuh Utsman r.a.
Thalha dan Zubayr bersama penduduk
Makkah dan Madinah menyuarakan agar pembunuh Khalifah Utsman r.a segera
dijatuhkan hukuman hadd. Namun di balik itu, Thalha dan Zubayr
menyimpan rasa sakit hati setelah tidak diberi jatah jabatan oleh Khalifah Ali,
sementara keduanya ikut membaiat Ali menjadi pemimpin ummat Islam kala itu.
Thalha dan Zubayr didukung ratusan
pennduduk Makkah dan Madinah, termasuk Aisyah r.a. Mereka bergerak menuju
Bashrah untuk membalas dendam atas
kematian Utsman r.a. Aisyah r.a turut berangkat meninggalkan Makkah. Ia diantar
oleh beberapa orang istri nabi lainnya.
Mendengar
berita berangktanya pasukan Thalhah, Zubayr dan Aisyah r.a ke Bashrah untuk
mencari pembunuh Utsman, imam Ali r.a pun mengumpulkan para Sahabat Nabi
terkemuka, baik dari kaum Muhajirin dan Anshar. Kepada mereka ia menegaskan
tekadnya, Allah Azza wa Jalla senantiasa
membuka pintu maaf dan ampunan bagi orang yang berbuat zalim di kalangan ummat
ini. Allah akan melimpahkan kemenangan dan keselamatan kepada setiap orang yang
menaati perintahnya dan berbuat lurus. Lantas imam Ali berkata, sesungguhnya Thalha,
Zubayr dan Aisyah telah bekerja sama menyebarkan kebencian terhadap
kekhalifaanku, dan mereka berseru kepada kaum muslimin supaya bergerak
memperbaiki keadaan. Selagi aku tidak mengkhawatirkan timbulnya bencana
perpecahan ummat islam, aku akan tetap bersabar, aku tidak akan bergerak jika
mereka tidak bergerak. Lantas imam Ali hanya memantau berita tentang gerak
gerik mereka. Imam Ali hanya tinggal di Madinah dan terus memohon kepada Allah
supaya mengembalikan persatuan ummat Islam.
Setelah mengetahui jatuhnya kekuasaan
Bashrah ditangan Thalha, Zubayr dan Aisyah. Imam Ali r.a selaku Khalifah lantas
bersiap menuju Bashrah untuk melakukan perdamaian. Pada mulanya imam Ali r.a
tidak percaya bahwa Thalha, Zubayr dan Aisyah r.a berniat untuk memeranginya.
Karena itulah ia ingin segera bertemu dengan mereka untuk mempersatukan barisan
sebelum berangkat ke Syam guna menekan Mu’awiyah supaya taat kepada Khalifah.
Di
dekat perbatasan kota Bashrah, dua pasukan besar saling berhadapan, yaitu
pasukan imam Ali r.a dan pasukan pemberontak di bawah pimpinan Thalha Zubayr
dan Aisyah r.a.
Di
tengah ketegangan tersebut, muncul salah seorang pembesar dari Bashrah yang
telah membai’at imam Ali, dan berkata. Rakyat kami beranggapan bahwa engaku akan
meraih kemenangan pada perang ini, engkau pasti akan membunuh mereka semua dan
engkau akan menjadikan mereka semua budak-budak. Iimam Ali lantas menjawab,
sesungguhnya kekhawatiranmu itu tidak akan
terjadi, bukankah mereka semua itu ada saudara kita dan islam melarang hal
tersebut, kecuali kepada mereka yang kafir dan murtad dari Islam. Dalam pernyataannya tersebut imam Ali r.a hendak
menegaskan sikapnya, bahwa orang yang mencederai baiat itu bukanlah orang-orang
kafir dan murtad, melaikan mereka telah mencederai janji mereka.
Al-
Muqhirah bin Syu’bah yang mendengar percakapan tersebut lantas mendekati imam
Ali r.a, seraya berkata, “anda boleh memilih antara aku berperang di pihak anda
dengan 4.000 pasukan atau mencegah 10.000 pedang mendarat di hadapan anda.
Pada dasarnya imam Ali r.a tidak
menginginkan adanya perpecahan dan peperangan antara ummat Islam itu sendiri,
sehingga pada saat itu, imam Ali r.a memilih untuk mencegah pasukan tersebut ikut dalam peperangan.
Al-
Muqhirah lantas berteriak memanggil seluruh pasukannya dari kedua belah pihak.
Seluruh pasukan al-Muqhirah lantas berkumpul dan mereka tunduk di bawah
perintah al-Muqhirah untuk meninggalkan lokasi perang saat itu. Menurut sebuah
riwayat, seusai perang, seluruh pengikut al-Muqhirah membaiat imam Ali r.a.
Tak
lama setelah al-Muqirah dan pasukannya pergi, keluarlah Zubayr dari barisan
pasukannya menunggangi kuda dengan persenjataan lengkap, setelah itu menyusul
Thalha keluar dari barisan pasukannya ingin bertatap muka langsung dengan imam
Ali r.a.
Setelah bertemu, terjadilah perdebatan
seru, namun Zubayr tak berkutik, air matanya tampak resah ingin keluar, ia
teringat masa-masa bersama Ali di bawah kepemimpinan Rasulullah di medan perang
melawan kaum musyrikin,. Berbeda dengan “Thalha” yang malah berani membentak imam
Ali. Thalhah kemudian membalikkan badan, membuang muka lalu pergi menuju
pasukannya. Melihat perilaku Thalhah imam Ali r.a lantas kembali ke
tengah-tengah pasukannya.
Beberapa
saat lamanya imam Ali r.a menunggu serangan dari lawan, tetapi tidak terlihat
tanda-tanda akan datangnya serangan. Pada saat itulah imam Ali r.a merasa masih
perlu berdialog dengan Thalhah dan Zubayr. Namun imam Ali r.a hanya bisa
bertemu dengan Zubayr di tengah-tengah pasukan keduanya. Imam Ali r.a dan
Zubayr hanya saling beradu pandang tanpa ada percakapan apapun, sampai keduanya
tak sanggup lagi menahan haru dan iba, akhirnya mereka saling merangkul satu
sama lain seraya menangis teringat kenangan masa lalu mereka bersama
Rasulullah.
Setelah
dialog di antara keduanya berakhir, imam Ali r.a pun beranjak kembali ke
pasukannya, begitu pula dengan Zubayr, Namun belum berapa jauh Zubayr berjalan,
ia dihujani anak panah yang datang dari kubu pasukan Thalhah. Ia tewas
seketika.
Setelah
peristiwa itu, perang tidak dapat terelakkan lagi. Aisyah r.a kemudian mengirim Ka’ab bin Sur dengan
membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut ‘Abdullah bin Saba’ membidiknya dengan anak
panah hingga ia tewas. Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah
berkecamuk maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.
Perang
Jamal pun meletus tepat pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifaan Ali r.a.
Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari
terbenam hari itu.
Dalam
peperangan ini Ali r.a disertai 10.000 pasukan, sementara pasukan jamal
berjumlah antara 5.000 - 6.000 prajurit. Pada perang ini banyak kaum muslim yang
tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah SWT agar
menyelamatkan pedang-pedang darinya.
Pasca
perang, Ali r.a berjalan di antara korban yang tewas, lalu menemukan mayat
Thalhah, setelah mendudukkannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata : “alangkah
berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah
bintang-bintang langit.” Ia pun menangis seraya berkata, “seandainya aku mati
dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.”
Setelah
itu Ali r.a menemui Aisyah r.a ,
kemudian mengantarnya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan.
Akibat
apakah yang ditimbulkan oleh bencana perang Unta? Orang yang arif dan
berpengalaman tentu dapat menulis buku khusus untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Namun, bagi kami sendiri, cukuplah kiranya kalau menunjukkan hal-hal
berikut :
Kalau
tidak terjadi bencana perang Unta, tentu tidak akan terjadi perang Shiffin dan
perang Nahrawan ; tidak akan terjadi pembantaian “karbala”; kesucian Ka’bah
tentu tidak akan diinjak-injak dengan lemparan manjaniq[2]
lebih dari satu kali.
Bencana
perang Unta mencakup semua bentuk kenistaan dan cacat kekurangan, karena
bencana tersebut merupakan sebab kelemahan dan kemerosotan kaum muslimin; sebab
membuat mereka mudah diperbudak orang asing dan membuat negeri mereka dapat
dirampas dan dijarah. Perang Unta adalah awal bencana yang mengobrak-abrik
kerukunan ummat Islam sehingga mereka saling membunuh dan saling menghancurkan,
padahal sebelum itu mereka merupakan
kekuatan hebat yang sanggup mengalahkan musuh-musuhnya. Kenyataan itu yang
membuka kesempatan bagi terjadinya berbagai macam bencana dan perang saudara
yang terjadi silih berganti, merobek-robek kesatuan ummat Islam.
Tokoh-tokoh
yang mencetus terjadinya perang Unta berdalih bahwa mereka menuntut balas atas
kematian Utsman r.a , sekalipun hal tersebut mereka lakukan dengan tulus dan
jujur, namun dapat kita saksikan bahwa mereka menuntut untuk membalas kematian
satu orang dengan mengorbankan ribuan nyawa ummat Islam yang tidak bersalah.
Mereka menyeret agama kedalam malapetaka dan bencana.
2.
Perang Shiffin
Perang Shiffin berkecamuk setelah perang
Unta mereda, yakni bertepatan pada tahun 37 H, di bulan Shafar. Perang ini di
latar belakangi enggannya Mu’awiyah membai’at Ali menjadi Khalifah sampai
dilakukannya qishas terhadap pembunuh
Utsman..
Lantas
Mu’awiyah berseru kepada penduduk Syam untuk membaiatnya sebagai Amirul
Mu’minin. Hal tersebut memicu timbulnya
tantangan dan protes dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in. Mereka mengatakan
bahwa orang yang membunuh Utsman r.a tidak lebih besar dosanya dari pada orang
yang membaiat Mu’awiyah sebagai Khalifah.
Setelah
dibaiat sebagai Amirul Mu’minin tandingan di Syam, Mu’awiyah mengirim sepucuk
surat kepada imam Ali r.a., penuh dengan celaan, cercaan, dan tuduhan. Mu’awiyah
dengan suratnya itu sudah sekian kali menantang dan memprovokasi imam Ali r.a
supaya mengobarkan perang..
Meskipun
Mu’awiyah secara terang-terangan menyatakan pembangkangan terhadap Amirul
Mu’minin. Imam Ali r.a tidak pernah berniat menumpas pemberontakan itu dengan
jalan peperangan.
Hingga
imam Ali r.a memandang, telah tiba saatnya untuk mengutus Jarir bin Abdullah
berangkat ke Syam membawa surat khusus untuk disampaikan langsung kepada
Mu’awiyah. Adapun surat imam Ali r.a tersebut berisi tentang baiat diberikan
kaum muslimin di Madinah bersifat mengikat kepada diri Mu’awiayah, sekalipun
Mua’wiyah berada di Syam. Inti dari
surat khusus yang dikirim Khalifah Ali r.a itu menegaskan kepada Mu’awiyah
untuk tunduk kepada Khalifah yang sah yakni imam Ali r.a dan mengingatkan
tentang apa yang telah terjadi pada Thalha dan Zubayr yang mati dalam perang
Unta.
Membaca
surta tersebut Mu’awiyah lantas mempersiapkan pasukannya sebanyak 70.000
personil untuk membendung serangan Ali r.a yang telah bersiap untuk menumpasnya
dengan kekuatan 100.000 pasukan.
Perang
pun tak terelakkan, kedua pasukan saling
jual beli serang. Terik matahari tak terasa lagi, darah mengalir deras seolah
tidak membuat gentar pasukan dari dua kubu ini untuk mundur. Hingga pada
saat-saat terakhir, Khalifah Ali r.a memerintahkan kepada seluruh Panglima
perangnya melakukan serangan umum besar-besaran untuk melumpukah seluruh
pasukan dari Mu’awiyah.
Imam
Ali yang dikenal dengan kecerdikannya memimpin pasukan berhasil menembus
seluruh blokade pasukan Mu’awiyah. Hal tersebut membuat Mu’awiyah mulai cemas
akan keadaan pasukannya yang berjatuhan di medan perang.
Pada saat itu muncullah salah seorang penasehat
Mu’awiyah, “Amr bin al-Ash, yang membisikkan Mu’awiyah untuk melakukan Tahkim bi Kitabillah atau Penyelesaian
Damai Berdasarkan Hukum Al-Qur’an.[3]
` Perang
Shiffin pun berakhir dengan tahkim
(arbitrase). Ali r.a rela melakukan tahkim,
lalu kembali ke Kufah. Sementara Mua’wiyah kembali ke Syam. Tahkim itu sendiri akan dilakukan pada
bulan Ramadhan. Untuk hal tersebut Ali r.a mengutus Abu Musa al-As’ari’ r.a ,
sedang Mu’awiyah r.a mengutus ‘Amr bin al-Ash r.a’.
3.
Perang Nahrawan
Perang Nahrawan terjadi setelah adanya
perpecahan di dalam pasukan imam Ali, yang dimana mereka adalah orang-orang
yang tidak menerima adanya tahkim. Sehingga
mereka disebut kaum Khawarij (kaum yang membelot).
Perang ini melibatkan pasukan Khulafa
ar-Rasyidin Ali r.a sebanyak 10.000 prajurit melawan kaum Khawarij dengan 4.000
prajurit di lembah Nahrawan (Irak). Dalam peperangan tersebut imam Ali r.a
keluar sebagai pemenang. Sebagian besar pasukan dari kaum Khawarij meninggal
dalam peperangan tersebut, sebagian lagi lari menyelamatkan diri.
Setelah perang Nahrawan, kaum Khawarij
masih menyimpan dendam kepada khalifa Ali r.a. kaum Khawarij bahkan beranggapan
bahwa imam Ali r.a telah keluar dari islam dan boleh dialirkan darahnya
(dibunuh).
Dalam beberapa literatur islam, dijelaskan
bahwa orang yang membunuh Khalifa Ali adalah salah seorang dari kaum Khawarij
yang membalas dendam atas kematian keluarganya dalam perang Nahrawan.
B.
Munculnya Sekte-Sekte (Syiah-Khawarij)
Munculnya sekte-sekte (Syiah-Khawarij)
tak dapat dipisahkan dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah islam. Baik
pada masa Rasulullah hingga akhir masa Khulafa ar-Rasyidin berakhir.
Adapun
perincian tentang awal mula munculnya sekte-sekte tersebut (Syiah-Khawarij)
akan dijelaskan lebih lanjut.
1.
Awal Mula
Munculnya Sekte Syiah
Syiah dapat diartikan
sebagai pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara garis besar sekte Syiah dapat dikatakan
sebagai orang-orang yang setia dan mendukung imam Ali r.a sepenuh jiwa mereka,
bahkan di antara kaum Syiah ada yang sampai menyakini bahwa adanya unsur
ketuhanan dalam diri imam Ali r.a atau menuhankan Ali r.a.
Pada akhir masa
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan[4]
, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’ menyatakan diri masuk Islam.
Setelah Abdullah bin
Saba’ menyatakan diri masuk Islam, ia pun mengajarkan bahwa pada diri Ali itu
mengandung unsur ketuhanan. Demi menyebar luaskan ajarannya tersebut, Abdullah
bin Saba’ kemudian mengembara ke berbagai kota besar Islam seperti Mesir,
Basrah dan Kufah.
Pada saat imam Ali r.a
memindahkan kekhalifaannya ke Kufah kebanyakan orang Kuffah telah terpengaruh
oleh ajaran Abdullah bin Saba’.
Sesampainya di Kuffah,
imam Ali r.a didatangi oleh banyak orang
yang menyatakan dukungan dan rasa cintanya yang berlebih terhadap beliau.
Ketika Khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?” mereka menjawab,
“Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok yang dikenal sangat
fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “Syiah”.
Dari literatur islam
lainnya dijelaskan bahwa madzhab Syiah pertama kali muncul bertepatan pada hari
karbala[5],
dimana al-Husain, anak dari Ali r.a atau cucu dari Rasulullah SAW dibantai dan
dipenggal kepalanya di karbala oleh Umar anak dari Sa’ad ibn Abi Waqqash,
seorang jendral terkenal.
Cucu Nabi Muhammad SAW
tercinta gugur dengan bekas luka di sekujur tubuhnya. Kepalanya dipenggal dan
dikirim ke Yazid di Damaskus, yang kemudian diserahkan kepada saudara perempuan
dan anak Husain, yang selamat dari pembantaian dan ikut digiring ke Damaskus[6].
Kepala Husain kemudian dikuburkan bersama tubuhnya di Karbala.
Sejak saat itu,
kedudukan imam yang diwariskan turun
temurun kepada keturunan Ali r.a menjadi salah satu dogma dalam ajaran Syiah,
yang setara dengan kenabian Muhammad SAW dalam Islam.
2.
Awal
Mulu Munculnya Sekte Khawarij
Sekte Khawarij adalah pengikut imam Ali
r.a dalam Perang Shiffin yang tidak setuju dengan pandangan Ali atas
diadakannya Tahkim, karena mereka
beranggapan hal tersebut merugikan kubu Ali selaku pihak yang hampir menang
pada perang Shiffin.
Sebanyak 12.000 pasukan imam Ali menolak
proses tahkim, meski awalnya mereka
mendesak imam Ali untuk menerimanya, bahkan di antara mereka ada yang berani
beranggapan imam Ali kafir.
Dalam perjalanan ke Kuffah, mereka tiba
di salah satu perkamupungan Kuffah bernama Hurura’. Mulai saat itulah mereka dikenal dengan
sebutan kaum Hururiyyah, yaitu kelompok Khawarij.
Ali dan sejumlah tokoh mendebat dan
mematahkan pendapat mereka. Namun mereka bersikeras dan enggan mengalah. Mereka
hanya menerima dan menyetujui pemikiran mereka sendiri. Mereka menanyakan hukum
tahkim kepada setiap orang yang ditemui. Mereka akan
langsung membunuh orang yang menerima tahkim
karena menurutnya murtad dan kafir.
Pada 38 H, mereka diperangi Ali, banyak
di antara mereka yang mati terbunuh, dan sisanya melarikan diri. Setelah
kejadian itu mereka terbagi menjadi beberapa kelompok.
C.
Akhir Masa Khulafaa ar-Rasyidin
Pada
16 Ramadhan[7] tahun 40
H sebelum fajar, dua orang Khawarij membuntuti imam Ali yang keluar hendak
membangunkan orang untuk shalat. Ketika Ali r.a sedang berjalan menuju masjid
Kufah, ia terkena hantaman pedang di dahinya. Pedang tersebut, yang mengenai
otaknya, diayunkan ‘Abd al-Rahman ibnu Muljam salah seorang dari kelompok
Khawarij, yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita
temannya yang terbunuh di Nahwaran.
Pada bulan Syawal 40 H
penduduk Madinah pun membaiat Hasan putra Ali sebagai Khalifah. Namun Hasan
menyerahkan jabatan Khalifah kepada Mu’awiyah demi persatuan ummat pada 25
Rabiul Awal 41 H. Tahun itu pun dikenal
sebagai “tahun perdamaian”.
Dengan meninggal Ali
r.a (661 M/40 H), pemerintahan yang dapat kita sebut sebagai priode kekhalifaan
republik-dimulai sejak kekhalifaan Abu Bakar telah berakhir. Empat khalifah
pada masa itu dikenal dengan sebutan ar-Rasyidin.
Pendiri kekhalifaan
kedua, Mu’awiyah dari keluarga Umayyah, menunjuk puteranya sendiri, Yazid
sebagai penerusnya sehingga ia menjadi seorang pendiri sebuah dinasti yang juga
menandakan berakhirnya masa Khulafa ar-Rasyidin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perpecahan ummat Islam pada masa Khalifah
Ali r.a menjadikan persatuan dan kesatuan kita sebagai ummat muslim terpecah
belah. Dimulai dari meletusnya perang Unta (Jamal) yang menjadi cikal bakal
munculnya berbagai perang saudara lainnya.
Oleh karena itu kita dapat berkaca pada
kejadian masa lalu Islam, betapa berharganya persatuan dan kesatuan itu untuk
tetap kita jaga.
Sementara alasan di balik munculnya
sekte-sekte dalam Islam itu sndiri tidak dapat kita pisahkan dari berbagai
perang yang terjadi pada masa kekhalifaan Ali. Hal tersebut pula yang melatar belakangi
munculnya benih-benih perpecahan dalam Islam.
Dengan meninggalnya Khalifah Ali r.a
menandakan akhir dari masa-masa khulafa ar-Rasyidin. Dimulai dari Khalifah Abu
Bakar hingga Khalifah Ali. Ditambah dengan dipilihnya Yazid [8]
sebagai pemimpin ummat Islam yang lantas merubah sistem kekhalifaan menjadi Dinasti.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hamid Al-Husaini. 2008. Imamul Muhtadi: Ali bin Abi Thalib. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Hitti, Philip K. 1937. History of The Arabs; From the Earliest
Times to the Present. Palgrave Mocmillan: New York.
Ibrahim, Qasim A & Shaleh,
Muhammad A. 2014. Al-Mawsu’ah
al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami. Mu’assasah Iqra’: Kairo
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances