MAKALAH
FILSAFAT
Filsafat Islam
DOSEN
PEMBIMBING
Aktobi
Gozali, MA
DISUSUN OLEH:
Muh. Yahya Saraka
INSTITUT
PTIQ JAKARTA
FAKULTAS
DAKWAH
KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
Swt. yang telah memberikan kita nikmat yang begitu besar, berupa nikmat Islam
dan iman. Shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan ke haribaan baginda
Muhammad Saw. yang dengannya kita dapat merasakan betapa indahnya Islam saat
ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orang tua penyusun, yang senantiasa memberikan dorongan, baik
dalam bentuk materi maupun non materi. Begitu pula kepada Dosen Pembimbing Mata
Kuliah Filsafat Umum & Islam Ustadz Aktobi Gozali, MA. yang berkat
bimbingannya dapat mempermudah penyusunan makalah ini. Dan kepada seluruh pihak yang senantiasa
memberi bantuan dan dukungan yang
dengannya penyusunan makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Makalah ini kami susun dengan tujuan
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Umum & Islam, tanpa
mengesampingkan tujuan utama dan tertinggi dalam penyusunan makalah ini, yakni
agar menjadi sarana untuk dapat
memperdalam dan memperluas pengetahuan kita dalam bidang Filsafat Umum &
Islam.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dari berbagai aspek. Olehnya,
kami memohon dengan hormat kepada
seluruh pembaca agar dapat memberikan masukan ataupun kritikan yang bersifat
membangun, agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik
lagi.
Jakarta, 22 Februari
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i....
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang.................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah............................................................................. 1
BAB II Pembahasan
1. Pengertian
Filsafat Islam................................................................... 2
2. Sejarah
Priodesasi Filsafat Islam....................................................... 3
3. Objek Filsafat
Islam.......................................................................... 6
4. Filsafat Islam
di Dunia Timur........................................................... 8
5. Filsafat Islam
di Dunia Barat.......................................................... 21
BAB III Penutup
1. Kesimpulan...................................................................................... 28
Daftar Pustaka................................................................................................ 29
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai Filsafat, tentumya
takkan terlepas dari filsafat islam itu sendiri sebagai jembatan menuju
perkembangan ilmu filsafat dunia barat saat ini. Perkembangan filsafat di dunia
barat dapat dikatakan sebagai penyambung kajian kefilsafatan setelah filsafat
di Yunani dan di dunia Islam melemah dan hilang.
Dalam kajian filsafat Islam tentunya
takkan terlepas dari pengenalan tokoh-tokoh filsuf Islam, baik di dunia timur
maupun di dunia barat. Kecemerlangan para filsuf pada zaman tersebut tak terlepas dari begitu
banyaknya faktor-faktor pendukungnya.
Selanjutnya, seyogyanya dalam kajian
filsafat Islam kita dituntut agar mengetahui para tokoh-tokohnya, pemikirannya
serta karya-karya dari para filsuf islam itu.
2.
RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana latar belakang di atas, kami
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Filsafat Islam ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Filsafat
Islam?
3. Apa objek kajian Filsafat Islam?
4. Siapa tokoh-tokoh Filsafat Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
FILSAFAT ISLAM
Menurut Mustafa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan
umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata
failusuf atau hukum al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam
(filosof-filosof Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Fuad al-Ahwani, kebanyakan
pengarang-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat
dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat filosof atau sebaliknya. Namun
demikian, mereka mengatakan bahwa kata hikmah itu di atas kata filsafat.
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah
ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis atau
yang bersifat praktis yakni, pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal
baik.
Sampailah kita pada pengertian filsafat Islam yang merupakan
gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, filsafat Islam adalah
filsafat yang tumbuh di Negeri Islam dan di bawah naungan Negara Islam, tanpa
memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh
Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis
kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya
dimasukkan ke dalam filsafat Islam.
Dr. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut “Bahwa
Tuhan memberikan akal kepada manusia, lalu menurunkan wahyu/sunnah untuk
manusia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan, apabila pengetahuan manusia
itu digerakkan oleh wahyu/sunnah, menjadilah ia filsafat Islam.” Wahyu dan
sunnah yang berkaitan dengan hal ghaib tidak mungkin dibuktikan kebenarannya
melalui riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan
tafsiran, sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang
bersistem, radikal, dan umum.[1]
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam
adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran
segala sesuatu.
2.
SEJARAH DAN PERIODERISASI
FILSAFAT ISLAM
Sebelum Islam bangsa Arab belum mengenal perkataan filsafat,
meskipun mereka mempunyai hikmah dan hakim. Al-Qur’an berulang kali menyebut
kata hikmah dan hikmah itu datang dari Tuhan yang bernama al-Hakim. Lain halnya
dengan filsafat yang menjelma dari karsa akal manusia. Akal itulah yang
diberikan Tuhan, maka dengan akal itu manusia berusaha untuk membentuk suatu
ilmu pengetahuan yang disebut filsafat.
Cukup jelas bahwa bangsa
Arab pada zaman sebelum Islam, mereka belum mengambil bagian dalam hal
filsafat, meskipun dari kalangan mereka sudah berkembang ilmu-ilmu astronomi,
meteorologi, medis dan retorika. Dari ilmu-ilmu ini jelas bahwa bangsa Arab
pada saat itu telah berbudaya.
Belum berfilsafatnya bangsa Arab sebelum Islam, bukan berarti
mereka anti terhadap filsafat. Ternyata setelah filsafat melemah dan hilang di
Yunani, maka bangsa Arab lah yang memelihara dan meneruskannya hingga dapat
tersebar di Eropa dan Amerika.
Karena besarnya peranan filosof-filosof Muslim dalam memajukan
filsafat, timbullah pertanyaan, kapan dan bagaimana filsafat itu masuk ke dalam
islam?
Penaklukan Iskandar yang Agung ke Timur, merupakan cikal bakal dari
masuknya filsafat ke dalam Islam. Salah satu cita-cita besar dari Iskandar
Agung Zulkarnain ialah hendak mempersatukan semua bangsa di dalam satu kerajaan
besar. Usaha ini dimulainya dengan menaklukkan Darius pada tahun 331 BC.[2]
Kedatangan Iskandar Agung ke Timur bukanlah dengan maksud yang
buruk, namun ia berusaha untuk mengawinkan dan menyatukan antara kebudayaan
Yunani yang dibawanya dengan kebudayaan Parsi di Timur.
Kemudian untuk memperkuat kebudayaan dua Negeri itu, Iskandar Agung
mendirikan kota-kota yang diatur keseimbangan penduduknya antara golongan
Yunani dan Parsi. Dari pertemuan kebudayaan ini lahirlah kebudayaan baru yang
disebut Hellenisme.
Setelah Iskandar Agung meninggal dunia pada bulan Juni tahun 33 BC.
para Jendralnya memberontak dan berakhir dengan pembagian daerah. Ptolemy dan Seleucus yang mempunyai daerah di
Asia dan Afrika bertekad meneruskan cita-cita ayahnya untuk menyatukan
kebudayaan Yunani dan Parsi. Tetapi usaha ini tidak dapat mereka teruskan,
karena kekuasaan beralih ke tangan bangsa Armenia dan Shapur dari Parsi.
Meskipun usaha ini tidak berhasil diteruskan, namun kebudayaan Yunani
meninggalkan bekas yang besar di Timur.
Ternyata bahasa administrasi yang dipakai di daerah yang ditaklukkan itu
ialah bahasa Yunani, bahkan setelah Islam masuk ke daerah tersebut, seperti
Mesir dan Siria, sampai datangnya Khalifah Bani Umayyah ke V Abdul Malik bin
Marwan (685 - 705 M) mengubah/memperbarui sistem administrasi negara dan
menggantinya dengan bahasa Arab.
Sebagaimana dituliskan dalam sejarah, bahwa Iskandar yang Agung
adalah murid setia dari Aristoteles. Banyak sedikitnya dia mempunyai pengaruh
di daerah taklukannya, apalagi usaha pengawinan kebudayaan Yunani dan Parsi
yang melahirkan kebudayaan Hellenisme merupakan kecambah yang akhirnya
akan melahirkan filsafat di tanah Arab.[3]
Dalam literatur lainnya dijelaskan mengenai sejarah masuknya
filsafat ke dalam Islam yang dimulai dari kemenangan dinasti Abbasiyah atas
dinasti Awamiyah yang menyebabkan perpindahan pusat pemerintahan dunia Islam
dari Damaskus ke Baghdad, memiliki makna yang signifikan bagi kelahiran dan pengembangan
filsafat di dunia Islam. Hal ini disebabkan, karena secara geografis Baghdad
dikelilingi oleh pusat-pusat pengembangan kebudayaan/filsafat Yunani, seperti
Iskandariyah, Harran, Urfah, Nusaibain, Jundaisapur dan Baghdad sendiri.
Walau usaha penerjemahan telah dimulai sejak dinasti Awamiyah,
namun mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah terutama, pada zaman
Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun (813 - 833 M), sehingga dalam kurun
waktu singkat dunia Islam mengalami kemajuan luar biasa dalam bidang filsafat.
Kemajuan ini tidak terlepas dari 5 faktor utama, yaitu:
a)
Perpindahan
pusat pemerintahan Islam dari Damaskus ke Baghdad sebagai titik api
pengembangan kebudayaan Yunani yang kemudian diserap kedalam dunia Islam[4]
b)
Kemunduran
filsafat di kalangan Yunani
c)
Dorongan
Berfilsafat, dikarenakan (poin 1 dan 2)
d)
Kecintaan Khalifah
terhadap ilmu pengetahuan.
e)
Kemajuan
ekonomi yang begitu besar dan signifikan dalam dunia Islam
Kelima faktor ini menyatu bagai orkestra yang menjadi pendorong kuat
perkembangan filsafat dalam Islam yang menjadikan pada masa itu filsafat begitu
berkembang dengan begitu banyaknya bentuk sarana dan prasarana bagi
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.
Secara global perkembangan filsafat Islam sejak awal hingga kini
dapat dibagi kepada lima periode:
a)
Masa
penerjemahan dan pengulasan terhadap buku-buku Yunani yang kemudian disertai
dengan pemaduan di antara agama dan filsafat. Tokohnya ialah al-Kindi, al-Farabi,
Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Sina.
b)
Masa kritikan
terhadap filsafat Islam dengan sedikit menggunakan metode filsafat. Tokohnya
Imam Ghazali dengan bukunya Tahafut al-Falasifah (kehancuran para
filosof).
c)
Masa pembelaan
terhadap filsafat Islam, baik di belahan Barat dunia Islam, maupun di belahan Timur. Di belahan Barat tokohnya ialah Ibnu Rusyd,
dan di belahan Timur Nashiruddin Thusi
d)
Masa kritikan
lanjutan terhadap filsafat Islam dengan pendekatan teologi dan disemangati oleh
kitab karya Imam Ghazali. Tokohnya al-Iji, Fakhruddin ar-Razi, dan Sa’aduddin
al-Taftazani.
e)
Masa kefakuman
dan peralihan corak filsafat. Sebagai akibat dari serangan gencar pada fase
ke-empat diatas, aktifitas filsafat megalami kefakuman di dunia Sunni. Ditambah
lagi dengan kegemilangan Imam Ghazali dengan Universitas Nizamiyahnya.
Sedangkan di dunia Syi’i filsafat berobah corak kepada bentuk yang
illuministik. Tokohnya ialah Suhrawardi yang mencoba mengadakan pemaduan di
antara tasawuf dengan filsafat, sehingga teori-teori tasawuf dicoba
dirasionalkan.
3.
OBJEK FILSAFAT
ISLAM
Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat
tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak di
hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan dalam mencari
objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari tiga hal tersebut,
yaitu:
a)
Dari apakah
benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan
hidrogen menjadi air?
b)
Apakah zaman
itu menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?
c)
Apakah bedanya
makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
d)
Apakah
ciri-ciri khas makhluk hidup?
e)
Apa jiwa itu?
Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia abadi atau musnah?
f)
Dan masih
banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini
kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah metafisika, yang membahas
tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang
mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: apakah alam semesta ini
wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?
Kemudian kita dapat membuat objek pembahasan lagi, yaitu
pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau
kesalahan, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika yang tidak ada kemiripannya
dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang
seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda
dengan ilmu. Sosiologi yang lebih menekankan kepada pengertian tentang
gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang
seharusnya terjadi.
Dari uraian ini, maka filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang
wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pegetahuan yang yakin akan
sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu bersifat
keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi
lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat
hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya.
Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang
hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi
dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang
menjadi sebab pokok bagi pertikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya.
Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam
proses pencarian itu filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai Islami.
Kebebasan pola pikirnya pun tergantung pada nila etis yakni sebuah
ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran Islam yakni al-Qur’an dan
as-Sunnah.
4.
FILSAFAT ISLAM
DI DUNIA TIMUR
Perkembangan filsafat di dunia Islam, khususnya di bagian timur
tidak terlepas dari banyaknya filsof dan golongan/kelompok dalam filsafat itu
sendiri seperti, al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ikhwan Al-Shafa’, Ibnu Maskawaih,
Ibnu Sina, al-Ghazali, Suhrawadi al-Maqtul.
A.
Al-Kindi
·
Biografi
Al-Kindi
Al-Kindi lahir pada tahun 185 H/801 M dan wafat tahun 260 H / 873
M. Kelahiran al-Kindi tidaklah di negeri asalnya, tetapi di kota Koufah (Irak)
di mana ayahnya bekerja sebagai Gubernur dari Daulah Abbasiyah. Nama lengkapnya ialah Abu Yusuf Ya’qub bun
Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin al-Asy’at bin Qays al- Kindi.
Gelar al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi cikal bakalnya, yaitu Banu
Kindah.
·
Pemikiran
Al-kindi
Sebagai filsuf, al-Kindi merumuskan pemikiran kefilsafatan. Uraian
di sini hanya dibatasi dua kajian terpenting, yaitu hubungan agama dengan
filsafat, dan kajian ketuhanan (metafisika).
1.
Hubungan Agama
dengan Filsafat
Problem pertama yang dihadapi para filsuf Muslim ialah “Bagaimana memadukan
kebenaran agama yang bersumber dari kitab suci dengan kebenaran filsafat yang
bersumber dari manusia yang sebagian ajarannya dipandang bertentangan dengan
ajaran agama Islam”. Untuk menghindari pertentangan ini al-Kindi mengadakan
pemaduan yang dimulai dari memposisikan pengertian filsafat adalah ilmu tentang
segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya.
Adapun ilmu yang termasuk di dalam bidang filsafat ialah ilmu
ketuhanan (rububiyah), ilmu keesaan (wahdaniyat) dan ilmu
keutamaan (fadhilat) dengan kajiannya masing-masing. Dari ketiga bidang
di atas, bidang ketuhanan, yang disebut al-Kindi sebagai filsafat yang pertama,
merupakan bidang yang paling utama, karena membicarakan kebenaran yang pertama
yaitu Tuhan. Oleh karena itu filsafat berbicara tentang Tuhan dan agama berasal
dari Tuhan, maka di antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[5]
2.
Metafisika
Pemikiran al-Kindi tentang ketuhanan termaktub dalam karyanya yang
berjudul Fi Falsafah al-Ula. Dalam karya ini, al-Kindi mengatakan: “Allah
adalah wujud yang Haq, yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya yang senantiasa
dan akan selalu demikian wujud-Nya secara abadi. Keberadaan (zat) Tuhan
tersebut bersifat Esa dalam bilangan dan juga Esa dalam zat. Esensi-Nya tidak
menganduk kejamakan (Pluralitas) karena Allah tidak mempunyai hayula/materi,
tidak mempunyai citra, tidak mempunyai kualitas dan kuantitas, tidak sebagai
rangkaian, tidak jenis dan macam. Dengan demikian Tuhan adalah wujud yang
paling murni sebagai penyebab pertama, yang ada dengan sendiri-Nya, bukan
karena wujud lain.”
Untuk membuktikan adanya Tuhan, al-Kindi menggunakan tiga argumen,
sebagai berikut:
-
Barunya alam. Berbeda dengan ulama kalam, menurut al-Kindi argumen ini berpijak
pada sebab, yaitu apakah bisa dipahami dalam alam ini menjadi sebab bagi adanya
atau tidak? al-Kindi menjawab tidak, karena pasti ada sebab yang mendahuluinya
dan berarti ada permulaan, karena itu ia baharu.
-
Keseragaman dan
kesatuan. Dalil ini berpijak pada kenyataan bahwa
alam empiris tidak terlepas dari adanya keseragaman yang bersumber dari
kesatuan, atau sebaliknya. Adanya dua lingkarang tersebut tentu bermula dari
suatu pengatur yaitu Tuhan.
-
Pengendalian. Suatu dalil yang didasarkan pada keteraturan alam tentu tidak
terlepas dari adanya pengatur dan pengendali dari keteraturan alam, yaitu
Tuhan.
B.
Ar-Razi
·
Biografi
Ar-Razi
Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad ibn Zakariah ibn Yahya
al-Razi. Lahir di Ray dekat Teheran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H / 865 M.[6]
wafat pada usia 62 tahun, yaitu pada 25 Oktober 925. Pada masa mudanya, ia
menjadi tukang intan[7],
dan ahli musik (Kecapi), dalam literatur lainnya dikatakan bahwa ar-Razi juga
bekerja sebagai money Changer[8].
Di samping itu ia juga respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan
apabila kedua matanya buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya, ia juga
belajar ilmu kedokteran dengan sangat tekun pada seorang dokter dan filsuf yang
bernama Ali ibn Robban al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan
minat ar-Razi untuk bergelut dengan filsafat agama.
·
Pemikiran
Ar-Razi
Dalam dunia filsafat, ar-Razi masyhur dengan “Prinsip tentang lima
yang abadi” (al-Qudama ul-Khamsah). Lima yang abadi itu ialah:
1.
Al-Bari Ta’ala, Tuhan pencipta yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna
2.
An-Nafsul
Kulliyah, jiwa yang universal yang hidup
dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menumukan kebebasan yang hakiki
3.
Al-Hayula Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi
pertama ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi
ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian
air, hawa dan api
4.
Al-Makanul
Mutlaq, ruang yang absolut, abadi, tanpa
awal dan tanpa akhir
5.
Az-Zamanul
Mutlaq, masa yang absolut, abadi, tanpa
awal dan tanpa akhir.
Benda-benda tidak terlepas dari lima ini sebab:
1.
Setiap benda
perlu ada yang menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta
2.
Di antara benda
ada yang hidup. Hidup memerlukaan roh. Sebab itu perlu adanya roh
3.
Benda adalah
materi, yang dengannya ia dapat diindera
4.
Materi mengambil
tempat, sebab itu ia perlu ruang sebagai tempatnya
5.
Materi
mengalami perubahan, perubahan terjadi dalam waktu.
C.
Al-Farabi
·
Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Farabi, yang dikenal
dengan Avennoser, dilahirkan di Wasij dalam daerah Farab (Turkestan)
sekitar tahun 257H / 870 M dan wafat sekitar tahun 339 H / 950 M.
Di masa mudanya
ia mengambil Baghdad sebagai tempat tinggal dan tempat belajarnya. Pelajaran
yang diterimanya di sana antara lain ilmu bahasa, kesusastraan, ilmu pasti dan
filsafat. Hatinya tertarik kepada Baghdad karena tersohornya kota itu sebagai
kota ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Atas saran gurunya di Baghdad, dia pindah ke Harran sebagai salah satu
pusat kebudayaan Hellenisme di Asia kecil, di sana ia belajar tentang
metafisika pada Yunnan bin Hailan.
Kealiman al-Farabi
dalam filsafat ditunjang oleh keahliannya dalam ilmu logika, sehingga ia
disebut oleh para ahli sejarah dengan sebutan al-Mu’allimuts Tsani (guru
kedua), dengan arti kata dialah filosof yang kedua besarnya sesudah
Aristoteles. Sehingga keahliaannya dalam metafisika digambarkan oleh filosof
besar Ibnu Sina di dalam autobiografinya sebagai berikut:
“Saya telah mempelajari metafisika Aristoteles dengan hati-hati,
tetapi saya tidak mengerti maksudnya. Saya baru mengerti setelah membaca buku al-Farabi,
ketika itu barulah saya faham tentang metafisika Aristoteles dan mengerti pula
maksud-maksudnya dengan jelas.”[9]
Dalam ilmu musik al-Farabi berbicara tentang musik mensural,
tentang adanya mayor ketiga 4 : 5 dan minor 5 : 6 sebagai konsonansi, di
samping itu ia telah membentangkan dengan luas tentang estetika dengan
nilainya.
·
Pemikiran
Al-Farabi
Selain dari
pendidikan dan bakat yang dilalui dan dimilikinya, lingkungan juga turut menentukan
jalan fikirannya. Analisa-analisa tentang filsafat Yunani yang diterima dari
guru-gurunya atau yang dibacanya dari risalah-risalah al-Kindi dan buku-buku
filsafat yang sudah banyak diterjemahkan sungguh mempengaruhi pemikiran al-Farabi.
Di antara aliran filsafat Yunani yang dipengaruhinya ialah filsafat Plato,
Aritoteles dan Neo Platonisme.
Selain itu ia
sebagai Muslim yang telah mempelajari agama dengan baik, ia pun mendapat
pengaruh dari ajaran tersebut. Tidak salah kalau ia kerap meyesuaikan
filsafatnya dengan ajaran Islam, seperti filsafatnya tentang kenabian, ia
mengakui adanya nabi dan nabi itu lebih tinggi dari filosof, nabi mempunyai mukjizat.
Dengan filsafat yang demikian al-Farabi telah memadukan ajaran filsafatnya
dengan ajaran agama, semacam filsafat sinkretisme.
D.
Ikhwan
Al-Shafa’
·
Biografi Ikhwan
Al-Shafa’
Istilah Ikhwan
al-Shafa’ (disebut juga dengan The Bretnern of Purity, Khullan
al-Wafa’, Ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd) terdiri dari dua suku kata, yaitu
ikhwan dan shafa’. Ikhwan mengandung arti persaudaraan, sedang shafa artinya
suci atau bersih. Jika digabung maknanya menjadi persaudaraan suci. Dalam
terminologi filsafat Islam, Ikhwan al-Shafa’ dimaknakan dengan kelompok
ahli-ahli pikir yang berkumpul untuk menyalakan kembali obor-obor ilmu
pengetahuan di kalangan kaum muslimin agar mereka tidak terperosok ke dalam
kejahiliyaan dan fanatisme.[10]
Kelompok ini
didirikan di Bashrah tahun 373 H / 983 M dan memiliki cabang di Baghdad.
Sebagai upaya mengembangkan filsafat mereka mengumpulkan tulisan-tulisan
kefilsafatan yang berjumlah 51 buah yang dikenal dengan nama Risalah Akhwan
al-Shafa wa Khullanul Wafa (Risalah mengenai saudara-saudara suci dan
sahabat-sahabat yang jujur). Kajiannya mencakup ilmu pengetahuan, filsafat,
agama dan bahasa.[11]
·
Tokoh-Tokoh
Ikhwan Al-Shafa’
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang tokoh Ikhwan al-Shafa’. Hal ini
disebabkan oleh organisasinya yang rahasia.
Dari informasi
yang diperoleh, nama-nama tokoh Ikhwan al-Shafa’ terdiri atas Abu Sulaiman
Muhammad bin Mu’shir al-Busti, yang dikenal dengan nama al-Maqdisi, Abul Hasan
Ali bin Harun al-Zanjany, Abu Muhammad al-Mihrajani, dan Al-Aufi Zaid bin
Rifa’ah. Penetapan ini didasarkan pada keterlibatan kelima tokoh ini dalam
penyusunan kitab Dairatul Ma’arif.
Sedangkan di
Baghdad tokohnya ialah Abu Sulaiman Muhammad bin Thahir al-Sijistnai, Abu
Zakaria al-Umairiy, Al-Arudhy Abu Muhammad al-Maqdisy, Yahya ibn Adiy, Abu
Ishak as-Sabiy, dan Maniy al-Majusi.
·
Pemikiran
Ikhwan Al-Shafa’
Ikhwan
Al-Shafa’ adalah golongan dalam filsafat yang menyatakan bahwa filsafat itu
bertingkat-tingkat, yaitu:
1.
Cinta ilmu
2.
Mengetahui
hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia
3.
Berkata dan
berbuat sesuai dengan ilmu.
Mengenai lapangan filsafat, dikatakannya ada 4, yaitu:
1.
Matematika
2.
Logika
3.
Fisika
4.
Ilmu ketuhanan.
Ilmu ini mempunyai 4 bagian:
a.
Mengenai Tuhan
b.
Ilmu
kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan
c.
Ilmu kejiwaan,
yaitu mengetahui ruh-ruh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-benda langit dan
benda-benda alam
d.
Ilmu politik,
yang mencakup politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum, politik
khusus (rumah tangga), dan lain-lain.
Dapat
disimpulkan, bahwa golongan Ikhwan al-Shafa’ tidak membagi filsafat amalan,
melainkan bagian amalan ini keseluruhannya dimasukkan dalam bagian ketuhanan.
Di samping itu mereka juga memasukkan politik kenabian dan ilmu keakhiratan pada
partikel-partikel yang baru.
E.
Ibnu Maskawaih
·
Biografi Ibnu
Maskawaih
Nama lengkapnya
Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih
masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih, ia biasa disebut juga sebagai Ali
al-Khasim. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi
(persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari nama
Sahabat Ali, yang bagi kaum Syiah dipandang sebagai yang berhak menggantikan
nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini
tidak salah jika orang mengatakan Ibnu Maskawaih tergolong penganut Syiah.
Ibnu Maskawaih
dilahirkan di Ray (Teheran). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkan tahun 320 H / 932 M. Margoliouth menyebutkan tahun 330 H / 932 M.
Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H, sedang wafatnya (semua sepakat) pada
9 Shafar 421 H / 16 Februari 1030 M.
·
Pimikiran Ibnu
Maskawaih
Ibnu Maskawaih
membedakan antara pengertian hikmah dan falsafah. Menurutnya, hikmah adalah keutamaan
jiwa yang cerdas yang mampu membeda-bedakan. Hikmah adalah bahwa engkau mampu
mengetahui segala sesuatu yang ada sebagai adanya. Atau jika engkau mengetahui
perkara-perkara Ilahiah dan perkara-perkara insaniah, dan hasil dari
pengetahuan tersebut engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual yang dapat
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan
mengenai filsafat, Ibnu Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia
hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis.
Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya
benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan
bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk
dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai
dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat
sejalan dengan benar bersama potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal
yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu
benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesemupurnaan moral adalah
sampai dapat mengatur hubungan antara sesama manusia hingga tercipta
kebahagiaan hidup bersama.
F.
Ibnu Sina
·
Biografi Ibnu
Sina
Abu Ali Husain
bin Abdullah bin Sina atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atau
Avicenna, adalah seorang ensiklopedia, filsuf, fisiologis, dokter, ahli
matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan di beberapa tempat ia lebih
terkenal sebagai sastrawan daripada seorang filsuf. Dia adalah ilmuan dan
filsuf muslim yang sangat terkenal dan salah seorang ilmuan dan filsuf terbesar
sepanjang masa. Diakui oleh semua orang, bahwa pikirannya mempresentasikan
puncak filsafat Arab. Dia dipanggil oleh orang Arab dengan sebutan asy-Syaikh
ar-Rais.
Dia lahir di
Afsanah, Bukharaa, Transoxian (Persia Utara) pada tahun 370 H / 980 M.[12]
Dia mengajar kedokteran dan filsafat di Isfahan, kemudian tinggal di Teheran.
Dia adalah seorang dokter ternama, di mana mulai abad ke-12 sampai ke-17,
bukunya dalam bidang pengobatan menjadi rujukan di berbagai Universitas Eropa.
·
Pemikiran Ibnu
Sina
Dari sekian
pemikiran Ibnu Sina, kajian dibatasi pada tiga bidang saja, yakni sebagai
berikut:
1.
Penciptaan Alam
Kajian tentang
penciptaan alam masih merupakan bagian dari pemikiran Ibnu Sina, sebagai
kelanjutan dari pemikiran al-Farabi, seperti tertuang dalam teori emanasi
al-Farabi. Sebagai kelanjutan, maka pemikirannya merupakan penyempurnaan dari
pemikiran sebelumnya. Kesempurnaan terletak pada adanya jiwa dari setiap benda-benda
akal. Hal ini terkait dengan pemikiran tentang jiwa yang mendapat tempat yang
strategis dalam sistem pemikiran Ibnu Sina.
Ibnu Sina
menetapkan dua objek pemikiran akal, yaitu dirinya sebagai wajibal wujud
lighairihi yang melahirkan benda = benda akal, dan dirinya sebagai wajibal
wujud lizatihi yang melahirkan jiwa-jiwa planet.
2.
Jiwa
Pemikiran Ibnu
Sina paling intens ialah mengenai jiwa, yang diartikannya sebagai “kesempurnaan
awal bagi jisim yang organik”. Untuk membuktikan jiwa ada dan lebih sempurna
dibanding jasad, Ibnu Sina mengajukan empat dalil yaitu:
-
Jiwa dapat
mengetahui hal-hal yang abstrak dan juga zatnya tanpa menggunakan alat, sedang
indera dan khayal tidak dapat melakukannya, apalagi badan.
-
Jiwa dapat mengetahi
objek pemikiran yang tidak dapat dilakukan oleh jisim
-
Jasad apabila
sering melakukan kerja berat akan mengalami keletihan, sedang jiwa/akal apabila
sering memikirkan yang berat akan memiliki ketajaman pemikiran
-
Jasad akan
mengalami ketuaan dan proses melemahnya organ-organ, sedang jiwa, semakin
berusia tua, semakin memiliki pandangan yang lebih sempurna.
Selanjutnya
Ibnu Sina membagi daya-daya jiwa kepada tiga tingkatan, sebagai berikut:
-
Daya Jiwa
Nabati (tumbuh-tumbuhan), memiliki daya, makan, daya menumbuhkan dan daya
mengembang biak
-
Daya Jiwa
Hewani, selain memiliki daya nabati di atas juga memiliki dua daya lagi yakni :
daya pendorong dan daya mengetahui.
-
Daya jiwa
insani, yaitu selain semua daya yang terdahulu, juga mempunyai daya berpikir,
baik dalam bentuk praktis maupun teoritis.
3.
Akal
Menurut Ibnu
Sina akal memiliki tingkatan sesuai dengan objek pemikirannya. Pertama, akal
dasar sebagai potensial yang selalu siap berpikir. Kedua, akal
pengetahuan yaitu akal potensial yang teraktual ketika menghadapi objek
pemikiran. Ketiga, akal tulen, yaitu ketika senantiasa teraktual dalam
kehidupan. Keempat, akal daya upaya, baik yang dimiliki manusia maupun
nabi. Akal ini berfungsi di dalam menghadapi objek pemikiran yang non materi.
Kemudian akal manusia mampu berhubungan langsung dengan akal aktif, yang
digambarkan filsuf sebagai Tuhan.
G.
Al-Ghazali
·
Biografi
Al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali al-Thusi. Beliau
dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 H / 1056 M.
Pada masa
kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada syekh Ahmad bin
Muhammad al-Rasikani, kemudian belajar pada imam Abi Nasar al-Ismaili di negeri
Jurjan.
Pada tahun 488
H. al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai
mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syiri (Syam) untuk mengunjungi Baitul
Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk
beberapa lama. Di sini ia beribadat di Masjid Al-Umawi pada suatu sudut hingga
terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyyah. Pada saat itu ia sempat
mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu
Ihya Ulumuddin.
·
Pemikiran
Al-Ghazali
Ada ilmuan yang
mengatakan bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof, karena ia menentang dan
memerangi filsafat dan membuangnya. Sebagaimana yang tersermin dalam kitabnya
Tahafatu al-Falasifah. Ia lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangun
agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka
sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan
ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah Swt. Hal
ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya ‘Ulumuddin.
Dalam Ihya
Ulumuddin, al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat bukanlah sebuah ilmu yang
berdiri sendiri, tetapi terdiri dari empat bagian:
1.
Ilmu dan
matematika (berhitung). Keduanya boleh dipelajari kecuali terhadap orang yang
takut akan terseleweng kepada suatu ilmu yang tercela.
2.
Ilmu logika
(mantiq), yakni ilmu yang membahas cara menyusun suatu dalil dan
syarat-syaratnya. Ilmu ini juga masuk dalam kategori ilmu kalam.
3.
Ilmu metafisika
(ketuhanan), yakni ilmu yang membahas tentang zat Allah Swt. dan
sifat-sifat-Nya. Ilmu ini juga termasuk ilmu kalam.
4.
Ilmu alam
sebagian dari padanya menyalahi syariat dan ajaran agama yang benar. Ini
sebenarnya merupakan kebodohan, bukan ilmu pengetahuan yang pantas dimasukkan
ke dalam bagian-bagian ilmu. Sebagian yang lain lagi membahas tentang
sifat-sifat jism (benda yang bertubuh) dan kegunaanya, cara berubah dan
bertukar bentuknya.
Dalam
pengertian filsafat Islam secara luas, kajian al-Ghazali tersebut telah
memasuki filsafat, meskipun harus mencemoh para filosuf. Sebenarnya yang
dicemoh bukan para filosuf, tetapi setiap orang yang mempunyai jalan pemikiran
yang tidak sesuai dengan ajaran agama ia mengecamnya. Karena al-Ghazali selalu
merujuk dan senantiasa mencari kebenaran, meski berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits,
ia telah memasuki alam pikiran filsafat. Dengan demikian ia termasuk seorang
filosuf.
H.
Suhrawardi
Al-Maqtul
·
Biografi
Suhrawardi Al-Maqtul
Nama lengkapnya
Abu al-Futuh Yahya ibnu Amrak, bergelar Syihabuddin, dilahirkan di Suhraward
sekitar tahun 550 H dan dibunuh di Halb (Aleppo), atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi,
tahun 587 H. Karena itulah ia digelari al-Maqtul (yang dibunuh).
Suhrawardi
belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, Majduddin al-Jili, guru
Fakhruddin ar-Razi. Di Isfahan dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan al-Sawi.
Selain itu, ia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis.
Kemudian ia
pindah ke kota Halb dan belajar pada al-Syafir Iftikharuddin. Di kota inilah
dia menjadi terkenal dan membuat fuqaha menjadi iri terhadapnya, dan mulai
mengecamnya. Namun karena ia begitu menguasi ilmu-ilmu filsafat, begitu pula
ushul fiqh dan cerdas pikirannya, sehingga membuatnya dekat dengan penguasa
kota Halb “al-Zhahir” putra dari Shalahuddin al-Ayyubi. Tetapi orang-orang dengki
kepadanya lantas melaporkan kepada Shalahuddin al-Ayyubi, tentang bahaya akan
tersesatnya aqidah al-Zhahir seandainya terus bersahabat dengan Suhrawardi.
Maka setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, yang menjatuhkan fatwa bahwa Suhrawardi
harus dibunuh, al-Zhahir pun memutuskan untuk menghukum gantung Suhrawardi atas
dorongan fatwa para fuqaha dan ayahnya sendiri. Penggantungan ini berlangsung
pada tahun 587 H di Kota Halb, ketika Suhrawardi berusia 38 tahun.
·
Pemikiran
Suhrawardi Al-Maqtul
Suhrawardi
adalah tokoh sufi filosofis yang paham tentang filsafat Platonisme,
Peripatetisme, Neo Platonisme, hikmah Persia, aliran-aliran agama Sabean, dan
filsafat Hermetisisme. Dalam karya-karyanya ia sering menyebut filosof Hermes
dan memandangnya sebagai tokoh penganut paham iluminasi, serta
mendeskripsikannya sebagai bapak para filosof.
Hikmah
Suhrawardi terkenal dengan nama Hikmah Isyraqiyah, serta dinisbatkan pada
isyraq, yang bermakna iluminasi (kasyf). Menurutnya, hikmah ini dikenal pula
sebagai hikmah masyriqiyyah (kebijaksanaan Timur), sebagaimana yang
disebut-sebut Ibnu Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan Timur,
yaitu orang-orang Persia. Adapun hikmah mereka tersebut didasarkan pada
iluminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecemerlangannya, dan kelimpahannya
pada jiwa sewaktu jiwa menjadi bebas.
Suhrawardi
mengemukakan bahwa Hikmah Isyraqnya didasarkan pada rasa, sebagaimana katanya:
“Apa yang kukemukakan (dalam Hikmah Isyraq) ini tidak kuperoleh lewat
pemikiran, tapi kuperoleh dari sumber lain. Dan aku pun segera mencari
argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti, sedikit pun
aku tidak ragu terhadapnya sekalipun orang lain meragukannya.
C.
FILSAFAT ISLAM
DI DUNIA BARAT
Dalam perkembangannya, filsafat Islam tidak hanya dikenal dan
dipelajari di dunia Timur tempat Islam itu berasal, namun seiring perluasan
wilayah Islam hingga memasuki Eropa dan sekitarnya membuat filsafat Islam pun
dikenal dan dipelajari. Berawal dari hal ini muncullah tokoh-tokoh filsafat
Islam yang berasal dari dunia Barat, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail dan Ibnu
Rusyd.
A.
Ibnu Bajjah
·
Biografi Ibnu
Bajjah
Nama aslinya
adalah Abu Bakar Muhammad ibn Yahya al-Sha’igh. Di dunia Barat ia terkenal
dengan sebutan Avempace. Dia berasal dari keluarga al-Tujib, maka ia terkenal
dengan sebutan al-Tujibi. Ibnu Bajjah lahir pada abad 11 M atau 5 H. di kota
Saragosa, di kota ini pula Ibnu Bajjah tumbuh berkembang. Dia menyelesaikan
jenjang akademisnya juga di kota Saragosa. Maka ketika pergi ke Granada, dia
telah menjadi seorang sarjana bahasa dan satra Arab dan dapat menguasai dua
belas macam ilmu pengetahuan.
Lantaran
ketenarannya yang makin menanjak, Abu Bakar Sahrawi, Gubernur Saragosa,
mengangkatnya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahannya. Tapi ketika Saragosa
jatuh ke tangan Alfonso I, Raja Aragon, pada tahun 512 H / 1118 M, Ibnu Bajjah
sudah meninggalkan kota itu dan tiba di Sevilla lewat Valencia, tinggal di sana
dan menjadi tabib. Kemudian dia pergi ke Granada, di sana terjadi peristiwa di
atas. Lalu dia pergi ke Afrika Barat-Laut.
Di Fez, Ibnu
Bajjah memasuki istana Gubernur Abu Bakar Yahya ibn Yusuf ibn Tasyifi, dan
menjadi pejabat tinggi selama 20 tahun. Ini adalah masa kesulitan dan kekacauan
dalam sejarah Spanyol dan Afrika Barat-Laut. Para Gubernur kota dan daerah
menyatakan kemerdekaan mereka. Pelanggaran hukum dan kekacauan melanda seluruh
negeri. Mereka yang bermusuhan saling menuduh sebagai berbuat bid’ah demi
meraih keunggulan dan simpati rakyat. Musuh-musuh Ibnu Bajjah sudah mencapnya
sebagai ahli bid’ah dan beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi semua usaha
mereka gagal. Tapi Ibn Zuhr, seorang dokter termsyhur pada masa itu berhasil
membunuhnya dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533 H / 1138 M. di Fez.
Tempat ia dikubur di samping ibn al-Arabi muda.[13]
·
Pemikiran Ibnu
Bajjah
Ibnu Bajjah
adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan praktik ilmu-ilmu matematika,
astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti
logika, filsafat alam dan metafisika.
Ibnu Bajjah
menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-Farabi, dan dia telah
memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah
menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti al-Farabi,
dia berurusan dengan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia
mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya
sendiri, tapi, dia berkata, untuk dapat memahami, lebih dulu memahami
filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya Ibnu Bajjah menuliskan uraian-uraian
sendiri atas karya-karya Aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang
jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya Aristoteles dengan sangat teliti.
Seperti juga dalam filsafat Aristoteles, Ibnu Bajjah mendasarkan metafisika dan
psikologinya pada fisika, dan itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisannya penuh
dengan wacana-wacana mengenai fisika.
B.
Ibnu Tufail
·
Biografi Ibnu
Tufail
Nama lengkap
Ibnu Tufail adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Abdul Malik ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. Ia adalah pemuka pertama
dalam pemikiran filosofis muwahhid yang berasal dari Spanyol. Ibnu Tufail lahir
pada abad 6 H / 13 M. di kota Guadix, Provinsi Granada. Keturunan Ibnu Tufail
termasuk suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais.
Karir Ibnu
Tufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Karena ketenaran atas jabatan
tersebut, maka ia diangkat menjadi sekertaris Gubernur Granada. Pada tahun 549
H / 1154 M. Ibnu Tufail menjadi sekertaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier,
penguasa muwahhid Sponyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter
tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf
(558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M).
Ibnu Tufail
meninggalkan jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 1184 M.
dikarenakan usianya yang telah lanjut dan dia manganjurkan pelindungnya agar
memilih Ibnu Rusyd untuk menggantikan kedudukannya. Ibnu Tufail meninggal di
Maroko pada tahun 581 H / 1185 M. dalam usia 86 tahun.
·
Pemikiran Ibnu
Tufail
Sistem
pemikiran Ibnu Tufail terekam dalam karya utamanya, Hayy bin Yaqzan.
Dalam buku fiksi inilah tertuang aneka pemikiran Ibnu Tufail. Dalam uraian ini
dibatasi pada dua masalah, sebagai berikut :
1.
Kekuatan Akal
Pemikiran
terpentingnya ialah mengenai kekuatan akal manusia yang mampu mencapai kebenaran
tanpa bimbingan wahyu. Menurutnya, dengan akal, manusia mampu mengenal Tuhan. Melalui
bukunya Hayy bin Yaqzan Ibnu Tufail menyampaikan bahwa manusia mampu
memperoleh kebenaran dan mengenal Tuhan, seperti yang dirumuskan wahyu.
2.
Epistimologi
Kajian
epistimologi menyangkut sumber pengetahuan manusia. Dari kisah fiksi di atas (Hay
bin Yaqzan) dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan manusia terdiri atas:
a.
Wahyu, yaitu informasi yang bersumber dari Tuhan (melalui wahyu) yang
disimbolkan dengan asal
b.
Akal, yaitu informasi yang diperoleh manusia dengan fungsionalisasi
akalnya secara maksimal, yang disimbolkan dengan Hayy bin Yaqzan.
Kedua sumber
ini memiliki kaitan yang erat di antara satu dengan yang lain. Menurut Ibnu Tufail,
akal berperan sebagai pemberi informasi kebenaran, sedangkan wahyu sebagai
pemberi konfirmasi.
C.
Ibnu Rusyd
·
Biografi Ibnu
Rusyd
Nama lengkapnya
ialah Abu al-Walid ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir tahun 520 H/ 1126 M. di Cordova,
Spanyol. Karena itu Ibnu Rusyd termasuk filsuf muslim dari belahan Barat dunia
Islam. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Ibnu Rusyd tidak hanya ahli
dalam filsafat namun beliau juga ahli dalam bidang hukum Islam. Hal ini dapat
dicermati dari pada buknya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid. Sedang keahlian
dalam bidang filsafat tidak diragukan lagi, terutama ulasannya yang akurat
terhadap karya Aristoteles, sehingga ia digelari sebagai “Pengulas Aristoteles”
Ibnu Rusyd juga diberi gelar “Penyelamat Filsafat di Barat”, dengan upaya defensifnya
terhadap serangan al-Ghazali, dengan karyanya yang berjudul Tahafut at-Tahafut
(kehancuran orang yang menghancurkan).
·
Pemikiran Ibnu
Rusyd
1.
Hubungan Agama
dengan Filsafat
Apabila di
dunia Islam belahan Timur, filsafat telah mengalami kehancuran total dengan
serangan al-Ghazali melalui tulisannya Tahafut al-Falasifah dan para loyalisnya,
maka di belahan Barat semangat kefilsafatan tumbuh berkat ulasan-ulasan Ibnu
Rusyd.
Di dalam membicarakan
hubungan agama dengan filsafat, dalam karyanya Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa syari’at tidak bertentangan dengan filsafat, bahkan syari’at
mengajak manusia untuk mengadakan kajian kefilsafatan, seperti terdapat dalam
berbagai nash al-Qur’an, maka peran agama dalam hal ini hanya meluruskan.
2.
Kausalitas
Konsep
kausalitas membicarakan adanya sebab-akibat pada setiap kejadian yang ada di
alam ini. Problem yang menarik perhatian para filsuf ialah:
a.
Apakah sebab
yang menjadikan itu langsung dari Tuhan atau hanya sebagian saja?
b.
Apakah Tuhan
hanya sebagai sebab universal, sehingga terdapat sebab lain di antara Tuhan
dengan suatu peristiwa (sebab perantara/menengah)
Di dalam
menghadapi dua kemungkinan di atas Ibnu Rusyd mengajukan pemikiran yang relatif
sama dengan aliran Mu’tazilah, yaitu prinsip “Tuhan tidak menciptakan akibat
melainkan hanya menciptakan sebab. Karena itu, terjadinya suatu peristiwa tidak
langsung dari Tuhan, melainkan melalui sebab perantara yang disebut sebagai Intermidiate
Cause, yaitu substansi. Hal ini didasarkan pada prinsip ketika Tuhan
menciptakan Ia sekaligus telah memberikannya kemampuan untuk berbuat sesuai
dengan konsep determinisme.
D.
FILSAFAT
SESUDAH IBNU RUSYD
Demikian beberapa pemikiran kefilsafatan di dunia Islam yang
kesemuanya berupaya “bagaimana agar ajaran Islam dapat diterima secara
filosofi” dengan mengambil semangat filsafat Yunani dan mencari legitimasi dari
nash syara’
Sejak Ibnu Rusyd kegiatan kefilsafatan mengalami perobahan yang
signifikan. Perobahan pertama terjadi dalam bidang kajian filsafat. Kajian
filsafat beralih ke dalam bentuk tasawuf, atau berupaya memadukan filsafat
dengan tasawuf, yang sering disebut dengan tasawuf falsafi. Tokohnya meliputi
Suhrawardi, Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jilli, dan lain-lain.
Perubahan kedua terjadi dalam bidang kawasan pengembangan. Sebagai
imbas dari serangan imam al-Ghazali terhadap filsafat, maka ulama belakangan
terutama di belahan Timur menganggap filsafat sebagai sesuatu yang lari dari
nash/ajaran Islam, yang berakhir dengan pengharaman filsafat.[14]
Kemudian dalam perkembangannya bermunculan para filsuf, nama-nama
seperti, Nashiruddin al-Tusi, Muhammad Iqbal, Mulla Sadra, Ibnu Qaldun, Ibnu
Taimiyah, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan lain-lain.
Pada abad 20 bermunculan para filsuf dengan kajian kontenporer, seperti
Ali Syatiri, Ismail al-Faruqi, Ziauddin Sardra dan lain-lain. Kesemuanya
tergolong filsuf muslim yang mengadakan interpretasi atau pemikiran terhadap
ajaran Islam dalam rangka dialog Islam dengan masanya atau dunianya, yaitu Barat.
Oleh karena itu terdapat kesamaam di antara filsuf klasik dengan
filsuf modern, yaitu sama-sama berdialog pada zamannya dengan problem yang
dibicarakannya; filsuf klasik berdialog dengan dunia Yunani, maka filsuf modern
lebih luas lagi, yaitu Barat dan Timur.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
filsafat Islam
adalah filsafat yang tumbuh di Negeri Islam dan di bawah naungan Negara Islam,
tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Jadi filsafat Islam tidak terbatas pada
hal agama dan bahasa dari seorang filsuf, namun lebih ke totitorial/kawasaan
dimana Islam itu berada.
Sementara tokoh-tokoh filsafat dibagi atas dua, yakni daerah timur dan
Barat Islam. Tokoh filsafat di dunia timur adalah Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi,
Ibnu Sina, Ibnu Maskwaih, Ikhwan Al-Shafa, Al-Ghazali dan Suhrawardi
Al-Matqul. Sementara di dunia barat
adalah Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainul Hamdi, 2004. Tujuh Filsuf Muslim (Pembuka Pintu
Gerbang Filsafat Barat Modern). Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Dr. Hasan Bakti Nasution, MA, 2001. Filsafat Umum. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Drs. H. A. Mustofa,1997. Filsafat Islam. CV. Pustaka Setia.
Tanpa tempat
Yunasril Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Kerinci:
Bumi Aksara. Tanpa tahun.
[1] Drs.
Sidi Gazalba, hal. 31
[2]
Perkembangan pemikiran falsafi dalam islam. Yunasril Ali. 1990. Hal 4.
[3]
Perkembangan pemikiran falsafi dalam islam. Yunasril Ali. 1990. Hal 5.
[4] Mehdi
Nakosteen, History of Islamic Orgin of Western Education, AD.800-1350 (Boulder:
University of Colorado Press, 1964), hlm.1-11.
[5] Ahmad
Daudy, Kuliah Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, 1985) Hal. 11.
[6] Terdapat
perbedaan tentang tahun kelahiran ar-Razi. Harun Nasution menyebut tahun 864 M.
sedang H. A. Mustafa menyebut tahun 865 M. lihat Harus Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 19-20; H. A.
Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 1977), hlm 110.
[7] Drs. H.
A. Mustofa, Filsafat Islam (CV. Pustaka Setia, 1997), Hal. 115.
[8] Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern
(Pustaka Pesantren, Yogyakarta; 2004) hal.59.
[9] Disalin
oleh Amin Husaein, Dr. Oemar, Filsafat Islam, Jakarta, 1975, Hal. 91
[10]
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, jilid 2 (Jakarta: Departemen Agama RI,
1992/1993), hlm. 437.
[11] M. Daud
Remantan, dkk, Pengantar Filsafat Islam (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry,
1982/1983), hlm. 53
[12]
Terdapat perbedaan mengenai tahun kelahiran Ibnu Sina. Yunasril Ali dan Hasan
Bakti Nasution menyebut tahun 370 H / 980 M. sedang Drs. H. A. Mustofa menyebut
tahun 340 H yang bertepatan tahun 980 M. lihat Dr. Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), hlm 134; Yunasril Ali,
Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jambi: Bumi Aksara, 1990), hlm 57;
Drs. H. A Mustofa, Filsafat Islam ( CV. Pustaka Setia, 1997), hlm 188.
[13] Drs. H.
A. Mustofa, Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia, hal.256. lihat pula, Yunasril
Ali, Arus Perkembangan Filsafat di Dunia Islam, Bumi Aksara; Jambi, 1990. Hal.
81.
[14] Karena
dampaknya yang begitu besar maka imam Ghazali dituduh sebagai biang keladi
pudarnya filsafat di dunia islam sehingga aktifitas filsafat terkurung dan
terkungkung. Bandingkan: Nurcholis
Majid, Ed. Khazanah Intelektual Muslim (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 54.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances