MAKALAH ILMU DAKWAH I Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Dakwah DOSEN PEMBIMBING Ust. Drs. H. Maftuhin Abbas, MA ...

Ontologi Epistimologi dan Aksiologi Dakwah

MAKALAH ILMU DAKWAH I
Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Dakwah

DOSEN PEMBIMBING
Ust. Drs. H. Maftuhin Abbas, MA





DISUSUN OLEH
Muh. Yahya Saraka
Zakiyuddin



INSTITUT PTIQ JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2016/2017

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kita nikmat yang begitu besar, berupa nikmat Islam dan iman. Shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan ke haribaan baginda Muhammad Saw. yang dengannya kita dapat merasakan betapa indahnya Islam.
Ucapan terima kasih kami kepada seluruh pihak yang senantiasa memberi  bantuan dan dukungan, khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Ilmu Dakwah I Ustadz Drs. H. Maftuhin Abbas, MA.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa dalam makalah  ini masih terdapat banyak kesalahan  dari berbagai aspek. Olehnya, kami memohon dengan hormat  kepada seluruh pembaca agar dapat memberikan masukan ataupun kritikan yang bersifat membangun, agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.


Jakarta, 06 Februari 2017

Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... i....
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A.    Pengantar Ontologi, Aksiologi dan Epistimologi.............................. 1
BAB II Pembahasan
A.    Ontologi Dakwah.............................................................................. 3
B.     Aksiologi  Dakwah............................................................................ 7
C.     Epistimologi Dakwah........................................................................ 9
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan...................................................................................... 11

Daftar Pustaka................................................................................................... 12


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengantar Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi

1.      Ontologi
Ontologi adalah reori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas. Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan : apakah sesungguhnya hakikat dari realitas yang ada ini; apakah realitas yang ada ini sesuatu realita materi saja; adakah sesuatu di balik realita itu; apakah realita ini monoisme, dualisme, atau pluralisme. Menurut Bramel, interprestasi tentang suatu realita itu dapat bervariasi.
Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis, akan menjadi masalah yang utama. Membimbing untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita itu merupakan stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran itu telah dibina.
2.      Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dicetuskan oleh L. F. Ferier pada abad 19 di Institut of Methaphisycs (1854). Buku Encyclopedia of Phylosophy, dan Brameld mempunyai pengertian yang hampir sama tentang epistemologi. Epistemologi aalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Contoh beberapa pernyataan yang menggunakan kata “tahu” yang berdeda sumber maupun validitasnya:
1.      Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
2.      Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan;
3.      Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya.

3.      Aksiologi
Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai. Ada 3 bagian yang membedakan di dalam aksiologi, yakni moral conduct, esthetic conduct,dan socio-political life. Nilai dan implikasi aksiologi dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Beberapa contoh untuk menilai orang itu baik :
1.      Baik, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada Ibu!
2.      Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?
3.      Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ontologi Dakwah
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Secara bahasa kata ontologi dibagi menjadi dua yaitu ontos: sesuatu yang
berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”. Secara istilah ontologi adalah ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan terakhir baik yang berbentuk jasmani/ konkret maupun rohani / abstrak. Sedangkan kata dakwah berasal dari bahasa arab“Da’a-Yad’u-Da’wan” yang artinya adalah menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah bisa diartikan sebagai mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dari pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ontologi dalam filsafat Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah Islam dari segi hakikat dakwah islam itu sendiri dalam mengkaji problem ontologis dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah.
Bidang kajian ilmu dakwah bersifat empirik, dalam hal ini harus dibedakan dari kajian ilmu agama yang juga membahas hal-hal yang tidak empirik dalam pengertian tidak dapat dijangkau dengan pengalaman. Jika ilmu agama mengkaji hal-hal seperti ketuhanan, hari kiamat, dan yang sejenisnya, maka ilmu dakwah mengakaji hal-hal yang  berkaitan dengan kehidupan manusia, sosial, kehidupan keagamaan, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat dimana  kesemua hal diatas dapat diverifikasi/ diuji langsung (empiris).
Dalam memandang bidang atau objek  kajiannya tersebut, ilmu dakwah memiliki tiga asumsi dasar. Pada asumsi dasar, pertama dikatakan bahwa objek tertentu memiliki keserupaan dengan objek yang lain. berdasarkan asumi ini, objek-objek yang memiliki keserupaan kemudian diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok. Asumsi yang keduaadalah  suatu objek memiliki tingakah khusus di dalam kegiatan tertentu. Suatu obyek memiliki perilaku tertentu jika ia berada di dalam situasi tertentu. Misalnya kehidupan keagamaan masyarakat memiliki corak yang beragam tergantung pada letak geografis atau komposisi demografisnya. Perilaku-perilaku ini akan melahirkan gejala-gejala tertentu sehigga asumsiketiga menyatakan bahwa gejala (pada suatu objek) bukanlah kejadian kebetulan tetapi ada pola tertentu yang bersifat tetap berdsarkan urutan-urutan yang sama. Hal ini memungkinkan kita untuk mengamati suatu gejala di dalam riset untuk manrik kesimpulan. Jika gejala yang ada bersifat tidak teratur tanpa mengikuti pola tertentu maka akan susah menarik kesimpulan.
Ketika membahas landasan ontologis ilmu dakwah maka kita akan bertemu isitilah-istilah filsafat ilmu seperti adanya aspek fenomental dan aspek structural. Aspek fenomentalmenunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok“elit” yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut paradigma Mertan disebut universalisme, komunisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan melalui karya-karya publikasi dan kemudian diwariskan kepada madsyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukan bahwa ilmu dakwah disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui(Gegenstand).
2.       Objek sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti, adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan baru yang mendorong terus dipertanyakan.\
3.       Ada alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4.       jawaban yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Ketika berbicara mengenai ontologi dakwah, maka ada tiga hal mendasar yang harus dilihat secara cermat dalam kajian tersebut yaitu:
1.      Manusia (sebagai pelaku dan penerima dakwah)
Pertanyaan tentang siapakah manusia itu telah muncul sejak manusia  berada dimuka bumi, dan jawabanya disusun sesuai dengan perkembangan pola pikir dan pengetahuan manusia itu sendiri. Jawaban dari pertanyaan tersebut  dapat dijabarkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial, ekonomi dan lain-lain, yang setidaknya memuat jawaban bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu, pertama jasad material yang tidak ada bedanya dengan binatang). Sedangkan unsur yang kedua adalah jiwa yang bersifat ruhaniyah, yang memungkinkan manusia untuk berfikir dan berkembang secara dinamis. Inilah yang membedakan antara manusia dan binatang.
Manusia dalam pandangan Al-Qur’an dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain (At-Tin:4) dan diangkat derajatnya sebagai makhluk yang mengungguli alam surga bahkan malaikat sekalipun. Akan tetapi dalam beberapa tempat manusia juga direndahkan derajatnya, hal ini karena manusia dilengkapi dengan sifat yang baik dan buruk. Dua sifat ini dapat dipahami dari dua unsur beku penciptaan manusia, unsur materi yang terdiri dari tanah liat yang kering dimana hal ini mengambarkan sifat kerendahan. Unsur kedua adalah ruh Allah yang ditiupkan dalam diri manusia, hal inilah yang mengambarkan sifat sucinya manusia. Dua sifat yang berlawanan ini mawarnai kehidupan dam memaksa manusia untuk memilihnya. Dari pilihan manusia itulah yang akan menentukan nasibnya kelak dikemudian hari.
Sedangakan manusia dalam pandangan dakwah pada hakikatnya adalah bahwa manusia dicipta dalam kondisi yang cenderung pada agama Allah. Hal ini telah ada sejak manusia dalam kandungan, dimana manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya, sehingga Allah melengkapi manusia dengan dua fungsi utama (sebagai kahlifah dan kehambaan). Sepanjag perjalana hidup manusia selalu dihadapkan pada berbagai macam rintangan dan hambatan yang menggoda fitrahnya. Dalam posisi tersebut manusia harus memilih antara baik dan buruk. Oleh sebab itu Allah memberikan jembatan “dakwah” agar manusia tetap berjalan secara konsisten dalam fitrahnya (jalan tuhanya), Hal ini telah dijelaskan dalam QS. An-Nahl:125
2.      Islam sebagai pesan dakwah
·   Untuk menjaga eksistensinya sebagai makhluk dua dimensi, maka manusia membutuhkan dua haldasar yang harus dipenuhi yaitu material ( sandang, pangan dan papan) dan spiritual (agama). Agama secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan manusia yang berkaitan dengan ketuhanan, yang dijelaskan dalam ajaran akidah, yang berisi tentang siapa tuhan yang sebenarnya harus disembah. Jawaban tentang rasa sosial manusia dijabarkan dalam ajaran syari’at yang mengatur tentan bagaimana kehidupan manusia bisa berjalan dengan harmonis. Sedangkan pertanyaan tentang etika dijelaskan oleh islam dalam ajaran akhlak, yang mengatur tentang bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya.
3.      Dakwah dan Hidayah
Hidayah merupakan penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan, sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Dalam hal ini hidayah tuhan yang berupa ajaran islam akan sampai kepada manusia itu melalui proses, maka dalam proses inilah dakwah berperan sentral. Sehingga bisa dikatakan bahwa posisi dakwah dalam hal ini adalah upaya atau proses untuk mengajak dan merayu manusia agar kembali atau tetap berada dan meningkatkan fitrahnya, yakni dalam ketuhanan, sosial dan etika yang sesuai dengan ajaran islam sehingga dapat terwujud kehidupan manusia yang khoiru ummah.
B.     Aksiologi Dakwah
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Pembicaraan nilai dalam bahasa yang paling umum dan sederhana (menurut konsep orang awam) seringkali dikaitkan dengan baik dan buruk, manfaat tidak manfaat. Sesuatu dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau manfaat dalam kehidupan, misalnya, nilai sebuah pisau, nilai orang, nilai sehat, nilai sebuah barang dan nilai lain. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari ada sesuatu yang bernilai dan ada yang diberi nilai (nilai intrinsik dan nilai instrumental).
Katsoff (1987) menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan:
1.      Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan (h. 333-336)
2.      Nilai sebagai objek suatu kepentingan (h. 337-339)
3.       Nilai pragmatis (inilah hasil pemberian nilai) (h. 339-343)
4.       Nilai sebagai esensi (h. 343-347)
Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi Bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar, sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran.
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Quran yang relevan, adalah untuk:
1.      Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”  (QS 41:53)
2.       Mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”(QS.51:56)
3.       Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin).“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS.21:107)
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
1.      Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam  menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
2.      Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
3.      Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
 Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda.
1.        Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2.        Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a.    Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b.    Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
C.    Epistimologi Dakwah
Epistemologi dakwah adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Pada dasarnya epistemologi adalah bahasa Yunani dan berasal dari dua kata yaitu, episteme yang berarti pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan logos yang berarti teori, informasi. Dengan demikian dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan atau teori pengetahuan. Dan dakwah secara bahasa, berasal dari padanan kata da’a- yuda’i- du’a’an wa da’watan. Dalam al-Qur’an istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh kali dengan berbagai arti yang berbeda yaitu: ajakan, seruan, pembuktian dan do’a. Dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran agama Islam agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan manusia dan mengajak manusia kepada jalan yang diridhoi Allah.
Dari dua pengertian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa Epistemologi Dakwah adalah kajian filosofis terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya, dan validitas dakwah adalah pengetahuan yang diperoleh dari sumbernya melalui metode ilmiah, dan belum bisa disebut sebagai ilmu apabila belum terujI secara ilmiah atau tidak memiliki validitas ilmiah. Dalam menguji keilmuan ada dua teori yang dapat digunakan untuk menguji validitas suatu disiplin ilmu, yaitu teori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi menyebutkan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan keputusan baru dengan keputusan-keputusan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Suatu proposisi dikatakan benar jika ia berhubungan dengan keberanian yang telah ada dalam pengalaman manusia.
 Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran atau keadaan benar itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau fakta-faktanya. Kebenaran adalah sesuatu yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi aktual. Dari teori korespondensi dapat diketahui bahwa yang pertama ada pernyataan dan kedua ada kenyataan. Dengan demikian, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan tentang sesuatu, misalnya di Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta ada Progam Studi Komunikasi Penyiaran Islam, dan jika kenyataan bahwa di Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta ada Progam Studi Komunikasi Penyiaran Islam (melalui observasi), maka terdapat kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Menrut Aristoteles, teori korespondensi disebut teori penggambaran, yang premisnya berbunyi “kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dengan kenyataan”.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan




























Daftar Pustaka
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Loren Bagus, Ilmu Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Abdul Kadir Sayid Abdul Rauf, Dirasah Fi Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar El-Tiba`ahAl-Mahmadiyah, 1987.
Drs. Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta: TERAS, 2006.

0 komentar: