MAKALAH HADITS ETIKA SOSIAL BERTETANGGA DOSEN PEMBIMBING : Anshor Bahary, S.Th.i, MA DISUSUN OLEH : Muh. Y...

MAKALAH HADITS
ETIKA SOSIAL BERTETANGGA

DOSEN PEMBIMBING :
Anshor Bahary, S.Th.i, MA








DISUSUN OLEH :
Muh. Yahya Saraka
Nim: 151211105




INSTITUT PTIQ  JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2016/2017


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. yang telah memberikan kita begitu banyak nikmat, khususnya nikmat Islam, iman dan taqwa. Shalawat serta salam tak lupa pula kita kirimkan ke haribaan Baginda Rasulullah SAW, nabi yang senantiasa memberikan kita contoh teladan dalam kehidupan kita di dunia.
            Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membatu kami dalam proses penyusunan makalah ini hingga dapat terselesaikan tepat waktu. Khususnya kepada Dosen mata kuliah Hadits. Ustdadz Anshor Bahary, MA. yang senantiasa membimbing kami semua dalam hal penyusunan makalah dengan baik.
Adapun makalah ini kami susun untuk sedikit memberi kita pengetahuan tentang hadits nabi yang berkaitan tentang “Etika Sosial; Bertetangga”, di samping itu penyusunan makalah kami ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hadits.
            Kami sebagai penulis menyadari, bahwa dalam makalah kami ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, olehnya itu, kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sekalian agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Jakarta, 13 Oktober 2016

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Definisi Etika Sosial Bertetangga....................................................... 2
C.     Hadits Etika Sosial Bertetangga......................................................... 4
D.    Kesimpulan....................................................................................... 10
Daftar Pustaka.............................................................................................. 11


A.      LATAR BELAKANG

Rasulullah SAW adalah manusia yang sempurna akhlak dan budi pekertinya, teladan bagi kita semua, bukan hanya ummat islam, melainkan orang-orang di luar islam pun mengambil pelajaran dari setiap berkataan, ketetapan dan sikap/perbuatan beliau. Olehnya itu, sudah menjadi keniscayaan untuk senantiasa mengkaji, mempelajari dan mengamalkan haidts-hadits beliau.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa ada interaksi dengan manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim sangat dibutuhkan.
Dalam hal sosial, khususnya bertetangga, yang dimana sering kita jumpai permasalahan-permasalahan di dalamnya, Rasulullah pun senantiasa mengajarkan kepada kita, bagaimana sebaiknya bersikap.
Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba untuk menyinggung hadits Rasulullah yang berkaitan tentang “Etika Sosial; Bertetangga”. Namun sebelumnya, kami akan membahas pengertian etika, sosial dan bertetangga dalam persfekti ilmu bahasa Indonesia, agar dapat memberi kita gambaran yang lebih konkrit mengenai pembahasan ini.
Di samping itu, kita perlu mengetahui hal-hal lain yang berkaitan tentang hadits tersebut, baik dari segi arti, penjelasan, asbabul wurud begitupula ‘ibrah yang dapat kita petik setelah mengetahui kandungannya.
Akhirnya, semoga kita bisa mendapat manfaat dari setiap yang kita pelajari nantinya, adapun pembahasan secara rinci akan kami paparkan dalam bab-bab selanjutnya.


B.       DEFINISI ETIKA SOSIAL BERTETANGGA

1.      Definisi Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yakni "ethikos" yang berarti "timbul dari kebiasaan". Sedang menurut istilah, etika adalah  sesuatu di mana dan bagaimana mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika cenderung melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[1]

2.      Definisi Sosial
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian sosial adalah sesuatu yang mempelajari tentang segala hal yang berkenaan dengan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa sosial mencakup segala hal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat, seperti, sifat, prilaku dan lain-lain.

3.      Definisi Bertetangga
Bertetangga berasal dari kata dasar tetangga, yang berarti orang (rumah) yang rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah.[2]
Sedang tetangga dalam pandangan islam  berarti orang yang bersebelahan secara syar’i, baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Ibnu hajar Al Asqalaaniy menyatakan: “Nama tetangga meliputi semua orang islam dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan lawan, warga asing dan pribumi, orang yang bermanfaat dan merugikan, kerabat dan bukan kerabat dan dekat rumahnya atau jauh. Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya.[3]
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah[4]:
1.      Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah , Azzuhriy dan Al Auzaa’iy.
2.      Sepuluh rumah dari semua arah.
3.      Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Ali bin Abi Tholib .
4.      Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
5.      Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: “Semua riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah atau tidak ada yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf[5]. Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al ‘urfu haddu maa lam yuhaddidu bihi asy syar’u (adat kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat). Sehingga, yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa Etika Sosial; Bertetangga adalah sikap perbuatan kepada setiap orang yang berada pada ruang lingkup tetangga yang mencerminkan tingkah laku dalam masyarakat.


C.      HADITS ETIKA SOSIAL BERTETANGGA

Agama Islam menaruh perhatian yang sangat besar kepada pemeluknya dalam segala hal dan urusan. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi, semua tidak luput dari ajarannya. Tak terkecuali dalam masalah adab. Berikut ini diantara adab-adab seorang muslim kepada tetangganya di dalam hadits Rasulullah yang patut kita perhatikan.
1.      Hadits I :

وفي روا ية لمسلم : ( لَا يَدْ خُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْ مَنُ جَا رُهُ )
Arti :
            Telah menceritakan kepada kami Ashim bin Ali telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi’ib  dari Said dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman.” Ditanyakan kepada beliau; “siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.” Riwayat ini dikuatkan pula oleh Syababah dan Asad bin Musa. Dan berkata Humaid bin Al-Aswad, Utsman bin Umar, Abu Bakr bin ‘Ayyasy dan Syu’aib bin Ishaq dari Ibnu Abu Dzi’ib dari Al-Maqburi dari Abu Hurairah.”
            Dalam riwayat lain dari Muslim dinyatakan, “tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa tenang dari gangguannya.[6]
a)      Kata/kalimat yang dianggap perlu penjelasan
·                   Adalah bentuk fi’il mudhari’ dari akar kata أَمِنَ  yang berarti “aman, tenteram atau sentosa. Namun dari hadits di atas kata           lebih merujuk pada arti aman.
·        البَوَائِقَ   adalah makna plural dari kata بَا ئِقَة  yang berarti malapetaka,   sesuatu yang membinasakan dan datang tiba-tiba. Namun dalam kitab Riyadu Shalihin dijelaskan bahwa makna  البَوَائِقَ   adalah culas, khianat, zhalim dan jahat. 

b)      Penjelasan Singkat Hadits
Setelah mengetahui dengan jelas hadits di atas, kita sudah dapat mengerti makna dan implementasinya, ada beberapa penjelasan di dalam berbagai kitab yang akan kami jelaskan sebagai berikut. 
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu ( البَوَائِق culas, khianat, zalim dan jahat), maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini”[7]
 Dalam hadits di atas terdapat penekanan besarnya hak tetangga, karena Beliau sampai bersumpah tentang hal itu. Bahkan Beliau mengulangi sumpahnya sampai tiga kali. Dalam hadits tersebut juga terdapat isyarat penafian iman dari seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Maksud (penafian disini) adalah (penafian) iman yang sempurna, dan tidak diragukan lagi bahwa seorang yang bermaksiat keimanannya tidak sempurna.[8]
Namun dalam hadits lain[9] disebutkan “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah, … Disebutkan diantaranya: “Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah boleh kematian atau keberangkatannya”
Berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan imannya.
c)      ‘Ibrah
Dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa pentingnya menjaga kerukunan antar tetangga, yang menekankan tentang keimanan seorang dapat hilang atau tidak sempurna dikarenakan perkataan atau perbuatannya yang menggangu tetangganya.
Dengan mengamalkan hadits di atas secara langsung kita akan terhindar dari pebuatan zalim kepada tetangga, yang dimana perbuatan zalim adalah perbuatan keji yang hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat.
Manfaat lain yang dapat kita petik setelah mengetahui hadits ini adalah, kita akan senantiasa berhati-hati dalam kehidupan sosial kita, khususnya dalam hal bertetangga, karena dikhawatirkan perkataan atau perbuatan yang kita anggap baik malah mengganggu atau dapat menzalimi tetangga kita.
2.      Hadits II :
           
Arti :
            Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata;  Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.
a)      Kata/kalimat yang dianggap perlu penjelasan
·       من كا ن يؤ من با لله واليوم الا خر  maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.”
·       يُؤْ ذِ     berasal dari kata أَ ذَى  yang berarti menyakiti.[10], dapat juga diartikan “tertimpa bahaya (ringan) atau sesuatu yang menyakiti, merugikan atau menyusahkan.”[11]
·       يُكْرِمْ       berasal dari kata  اَكْرَمَ – يُكْرِ مُ   yang berarti memuliakan[12]
    فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ  menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka, dalam arti lain dengan memuliakan mereka.
·       فَلْيَقُلْ خَيْرًاأَوْلِيَصْمُتْ      menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

b)      Penjelasan Singkat Hadits
Berkata al-Hafizh (yang artinya): “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan, ‘Dan terlaksananya wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan menyampaikan beberapa bentuk perbuatan baik kepadanya sesuai dengan kemampuan. Seperti hadiah, salam, wajah yang berseri-seri ketika bertemu, memperhatikan keadaannya, membantunya dalam hal yang ia butuhkan dan selainnya, serta menahan sesuatu yang bisa mengganggunya dengan berbagai macam cara, baik secara hissiyyah (terlihat) atau maknawi (tidak terlihat).’”[13]
c)      ‘Ibrah
Setelah mengetahui hadits ini, kita dapat memetik pelajaran berharga di antaranya:
1.        Iman terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari.
2.        Islam menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dikalangan individu masyarakat muslim.
3.        Termasuk kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik dan diam dari selainnya .
4.        Berlebih-lebihan dalam pembicaraan dapat menyebabkan kehancuran, sedangkan menjaga pembicaraan merupakan jalan keselamatan.
5.        Islam sangat menjaga agar seorang muslim berbicara apa yang bermanfaat dan mencegah perkataan yang diharamkan dalam setiap kondisi.
6.        Tidak memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan, karena hal tersebut dapat menyeret kepada perbuatan yang diharamkan atau yang makruh.
7.        Termasuk kesempurnaan iman adalah menghormati tetangganya dan memperhatikanya serta tidak menyakitinya.
8.        Wajib berbicara saat dibutuhkan, khususnya jika bertujuan menerangkan yang haq dan beramar ma’ruf nahi munkar.
9.        Memuliakan tamu termasuk diantara kemuliaan akhlak dan pertanda komitmennya terhadap syariat Islam.
10.    Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.

D.    KESIMPULAN
Setelah mengetahui penjelasan hadits-hadits di atas, kita dapat menarik kesimpulan, betapa pentingnya bertutur kata dan berperilaku baik kepada semua orang, terlebih kepada tetangga kita sendiri.
Betapa pentingnya menjaga kerukunan dalam bertetangga, hingga Rasulullah bersumpah sebanyak 3 kali dalam haditsnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keimanan seseorang bisa tidak sempurna apabila ia menyakiti/menzalimi tetangganya, baik dari perkataan maupun perbuatannya.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Al- Asqalani, Ibnu Hajar. 1997. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari. Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Bukhari, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail. 2003. Shahih Bukhari. Daarut Taqwa.
An-Nawawi, Imam & Abu Zakariyah Yahya bin Syaraf.  2005. Riyadhush Shalihin min Kalam Sayyidil Mursalin.  Jakarta: Bening Publishing.
Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Mahmud Yunus. 2010. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah.
Muhsin Khan, Dr. Muhammad. 1971. Shahih Al-Bukhari Arabic-English Vol. I.
Pakistan: Gujranwala Cantt.
Muslim, Abi Husain. 2008. Shahih Muslim. Mesir: ‘Ibari Rahman.
Sharia, Atef. 2016. Mu’jam Ma’ani Kamus Arabic. Al-Maany. Jordan.



[1] https://id.wikipedia.org/ dikutip dari buku  “Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama”  
   karangan Eka Darmaputera.
[2] Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.
[3] Lihat Fathul bari 10/442.
[4] Llihat Fathul Baari, 10 / 367.
[5] Silsilah Ahadits Dha’ifah, 1/446
[6]  Dikutip dari terjemah Riyadu Shalihin Imam Nawawi (I/346-347)
[7] Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178.
[8] Fathhul Bari kitab Al Adab (53/13). Lihat Qawaid wa Fawaid hal. 140
[9] HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani

[10] Dikutip dari kamus Arab-Indonesia Prof. H. Mahmud Yunus, 40.
[11] Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, 17.
[12] Dari Kamus Mu’jam al-Ma’ani.
[13] (Fathul Baari: X/456).

MAKALAH TAFSIR DAKWAH MANUSIA Tafsir QS. Al-Mu’minun Ayat 12-16 & QS. At-Tin Ayat 1-6 DOSEN PEMBIMBING : Ust. Topikurrahman,...

MAKALAH TAFSIR DAKWAH
MANUSIA
Tafsir QS. Al-Mu’minun Ayat 12-16 & QS. At-Tin Ayat 1-6

DOSEN PEMBIMBING :
Ust. Topikurrahman, MA





                                                                    
DISUSUN OLEH :
Muh. Yahya Saraka
Zakiyuddin




INSTITUT PTIQ JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2016/2017

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kita kesehatan dan keberkahan hidup dan terutama atas nikmat yang terindah yakni nikmat iman dan Islam. Tak lupa pula shalawat dan salam, bagi Rasulullah saw. yang telah memperjuangkan  panji-panji keislaman di muka bumi ini, dimana kita masih dapat menikmati hasil dari perjuangan tersebut hingga saat ini.

Dan terima kasih yang sebesar-besarnya kami haturkan kepada setiap pihak yang telah membantu kami dalam setiap proses penyusunan makalah ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.
           
Adapun makalah ini merupakan tugas kami dalam mata kuliah Tafsir Dakwah, jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Institut PTIQ Jakarta.

Kami sebagai penulis menyadari, bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulisan makalah kami selanjutnya akan kami lakukan dengan lebih baik lagi.



Jakarta, 30 Januari 2017

                                                                                                                     Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
A.    Pengertian Manusia...................................................................................... 1
Bab II Pembahasan
A.    Tafsir QS. Al-Mu’minun Ayat 12-16........................................................... 3
B.     Tafsir QS. At-Tin Ayat 1-6.......................................................................... 7
C.     Korelasi/Muhasabah dengan Komunikasi & Dakwah................................. 8
Bab III Penutup       
A.    Kesimpulan................................................................................................ 10
Daftar Pustaka..................................................................................................... 11


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengertian Manusia
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai khalifah dibumi dengan dibekali akal pikiran untuk berkarya dimuka bumi. Manusia memiliki perbedaan baik secara biologis maupun rohani.
Secara biologis umumnya manusia dibedakan secara fisik sedangkan secara rohani manusia dibedakan berdasarkan kepercayaannya atau agama yang dianutnya.
Kehidupan manusia sendiri sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Dalam bahasa manusia diartikan sebagai makhluk yang berpikir dan berakal budi. Sedangkan secara istilah manusia merupakan konsep atau gagasan yang ada dalam suatu kelompok tertentu. Dari dua pengertian di atas rupanya belum memuaskan di berbagai pihak. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak ahli yang mengungkapkan pendaptnya mengenai definisi dari manusia itu sendiri.
Salah satunya ialah Nicolaus d. & a. Sudiarja ia menggambarkan manusia seperti semboyan negara kita yaitu bhineka tunggal ika. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani akan tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu barang.
Sedangkan Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany ia menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang dianggap paling mulia. Hal tersebut dilandaskan dari kemampuan manusia yang dapat berfikir dan memiliki 3 dimensi yaitu badan, akal, serta roh. Manusia dalam perkembangan serta pertumbuannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan ia tinggal.
Manusia yang pada hakikatnya memiliki akal dan mampu berfikir dengan baik, tentu saja memilki karakter yang snagat kuat. Karakteristik dari manusia dapat meliputi :
  1. Aspek kreasi
  2. Aspek ilmu
  3. Aspek kehendak
  4. Pengarahan Akhlak
Yang dimaksud dengan aspek kreasi ialah dengan imajinasinya manusia dapat berkreasi kedalam berbagai bentuk. Misalnya saja menciptakan bangunan yang unik, melukis, atau mebari dan masih banyak lagi.
Peranan manusia di dunia ini juga tak lain ilah memperbaiki dirinya dnegan cara belajar. Selain itu ia harus mampu memberikan kontribusi ilmu yang di dapat dari proses belajar tadi. Dinamika kehidupan manusia yang dianggap komleks tadi perlu diberikan aplikasi sikap positif terhadap sesma terutama sang pencipta.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 12-16




“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (12) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (14) Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (15) Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat. (16)” (al-Mu’minuun: 12-16)
Allah Ta’ala berfirman seraya memberitahukan mengenai permulaan penciptaan manusia dari saripati (berasal) dari tanah, yaitu Adam’. Allah Ta’ala telah menciptakannya dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Mujahid mengemukakan: “Min sulaalatin berarti dari mani anak cucu Adam.” Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari satu genggaman tanah yang digenggam-Nya dari seluruh permukaan bumi. Kemudian anak-anak Adam datang sesuai dengan kadar warna tanah. Di antara mereka ada yang merah, putih, hitam, dan di antara hal tersebut, juga ada yang jahat dan ada juga yang baik, serta di antara keduanya.”
Hadits tersebut telah diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih.
Tsumma ja’alnaaHu nuth-fatan (Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani.) Dhamir (kata ganti) di sini kembali kepada jenis manusia, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam ayat yang lain: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dart saripati air yang jijik (air mani).” (QS. As-Sajdah: 7-8). Maksudnya, lemah dan berpindah dari satu keadaan menuju keadaan yang lain dan dari satu sifat ke sifat yang lain.
Oleh karena itu, di sini Allah Ta’ala berfirman: tsumma ja’alnan nuth-fata ‘alaqatan (Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah.) Artinya, kemudian Kami jadikan nuthfah, yaitu air yang memancar yang keluar dari tulang rusuk yang berada di tulang punggung laki-laki dan tulang dada wanita, yang berada di antara tulang selangka dan pusar, sehingga menjadi segumpal darah merah yang memanjang.`Ikrimah mengatakan: “Yaitu darah.”
Fakhalaqnal ‘alaqata mudl-ghatan (Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,) yaitu segumpal daging yang tidak mempunyai bentuk tertentu dan tidak bergaris-garis. Fakhalaqnal mudl-ghata ‘idhaaman (Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang,) maksudnya, Kami (Allah) berikan bentuk yang memiliki kepala, dua tangan, dua kaki, dengan tulang-tulangnya, urat, dan otot-ototnya.
Dalam hadits shahih dari Abuz Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap jasad anak cucu Adam akan binasa, kecuali satu bagian pangkal ekor, darinya(lah) diciptakan dan padanya disusun.”
Fa kasaunal ‘idhaama lahman (Lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging.) Maksudnya, Kami jadikan daging yang dapat menutupi, mengokohkan, dan menguatkan. Tsumma ansya’naaHu khalqan aakhara (Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain. ) Yakni, kemudian Kami tiupkan ruh ke dalamnya, sehingga dia pun bergerak dan menjadi makhluk lain yang mempunyai pendengaran, penglihatan, pengetahuan, gerakan, dan goncangan. fatabaarakallaaHu ahsanul khaaliqiin (Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.)
Al-‘Aufi menceritakan dari Ibnu `Abbas: Tsumma ansya’naaHu khalqan aakhara (Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain.) yakni, Kami pindahkan dari satu keadaan menuju keadaan yang lain sehingga lahir sebagai seorang anak. Setelah itu tumbuh sebagai anak kecil, lalu ia mengalami masa puber dan tumbuh menjadi remaja, selanjutnya tumbuh dewasa, kemudian menjadi tua, hingga akhirnya menjadi tua renta.
Hal serupa juga diriwayatkan dari Qatadah dan adh-Dhahhak, dan tidak ada pertentangan, di mana dari permulaan peniupan ruh ke dalamnya ditetapkan pada berbagai proses dan keadaan. Wallahu a’lam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, ia bercerita, Rasulullah saw. memberitahu kami, yang beliau adalah selalu jujur dan dibenarkan:
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut (rahim) ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah (air mani), kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (empat puluh hari), lalu menjadi gumpalan seperti sekerat daging, selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya Malaikat, maka ia (Malaikat) meniupkan ruh padanya dan Malaikat itu diperintahkan untuk (menulis) empat perkara; rizkinya, ajal (umur)nya, amal perbuatannya, dan (apakah dia) sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada Ilah (yang haq) selain Dia, sesungguhnya salah seorang diantara kalian akan mengerjakan amalan penghuni surga sehingga (jarak) antara dirinya dengan surga hanya satu hasta saja, namun dia didahului oleh ketetapan (takdir) Allah sehingga dia mengerjakan perbuatan penghuni neraka, hingga akhirnya dia masuk neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan mengerjakan perbuatan penghuni neraka sehingga (jarak) antara dirinya dengan neraka tinggal satu hasta saja, namun ketetapan (takdir) Allah mendahuluinya sehingga dia mengerjakan amal perbuatan penghuni surga, hingga akhirnya dia masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Firman Allah Ta’ala: fatabaarakallaaHu ahsanul khaaliqiin (Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.) Yakni, ketika Dia menyebutkan kekuasaan dan kelembutan-Nya dalam penciptaan nuthfah ini dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain (proses), dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, sehingga menjadi satu bentuk, yaitu manusia yang mempunyai ciptaan yang normal lagi sempurna. Wallahu a’am.
Firman-Nya: tsumma innakum ba’da dzaalika lamayyituun (Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.) Yakni, setelah penciptaan yang pertama dari ketiadaan, kalian kelak akan menemui kematian. Tsumma innakum yaumal qiyaamati tub’atsuun (Kemudian, sesungguhnya kamu semua akan dibangkitkan [dari kuburmu] di hari Kiamat.) Yakni, penciptaan yang terakhir.




B.    
Tafsir Surah At-Tin Ayat 1-6





“1. demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, 2. dan demi bukit Sinai, 3. dan demi kota (Mekah) ini yang aman, 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . 5. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), 6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (at-Tiin: 1-6)
Disini para ahli tafsir masih berbeda pendapat dengan pendapat yang cukup banyak. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan at-tiin di sini adalah masjid Damaskus. Ada juga yang berpendapat, ia merupakan buah tin itu  sendiri. Juga ada yang menyatakan bahwa ia adalah gunung yang terdapat di sana. Sedangkan al-Qurthubi  mengatakan: “At-Tiin adalah masjid  Ash-habul Kahfi.” Dan diriwayatkan oleh al-‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas bahwa at-tiin adalah masjid Nuh yang terdapat di bukit al-Judi. Mujahid mengatakan: “Ia adalah at-tiin kalian ini.” Wazzaituun (Dan demi zaitun) Ka’ab al ahbar, Qatadah, Ibnu Zaid, dan lain-lain mengatakan: “Yaitu masjid Baitul Maqdis. Mujahid dan ‘Ikrimah mengatakan: “Yaitu buah zaitun yang kalian peras.”
Wa thuuri siiniin (Dan demi bukit Sinai.) Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain mengatakan: “Yaitu bukit dimana allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s.
Wa Haadzal baladil amiin (Dan demi kota ini yang aman.) yakni, kota Mekah. Demikian yang  dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha’i, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah tersebut.
Firman Allah Ta’ala: laqad khalaqnal  innsaana fii ahsani taqwiim (Sesungguhnya Kami  telah menciptakan manusia dalam wujud dan bentuk sebaik-baiknya.) dan inilah yang menjadi obyek sumpah, yaitu bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam wujud dan bentuk  yang sebaik-baiknya, dengan perawakan yang sempurna serta beranggotakan badan yang normal. 
Tsumma radadnaaHu asfala saafiliin (Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.) yakni ke neraka. Demikian yang dikemukakan oleh Mujahid, Abul ‘Aliyah, al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lain. Kemudian setelah penciptaan yang baik dan menakjubkan itu, mereka akan diseret ke neraka jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti para Rasul. Oleh karena itu,
 Dia berfirman: illalladziina aamanuu wa ‘amilushaalihaati (Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih.) dan firman-Nya: falaHum ajrun ghairu mamnuun (Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.) yakni, tiada putus-putusnya.
C.    Korelasi/Muhasabah dengan Komunikasi dan Dakwah
Al-Qur’an memanglah sebuah bentuk komunikasi sang pencipta dengan ciptaannya, Allah dan manusia. Dalam surah al-Mu’minun ayat 12-16 Allah secara terperinci memberitahukan atau menjelaskan mengenai urutan proses penciptaan manusia. Allah memberitahukan tentang penciptaan ini agar manusia menyadari betapa kuasanya Allah yang telah menciptakan manusia melalui proses yang tidak biasa. Setelah itu Allah mengingatkan tentang kematian. Menunjukkan bahwa Allah ingin memberitahukan tentang kehidupan yang sementara ini pasti akan berakhir. Tak hanya sampai di situ, Allah lalu kembali mengingatkan janji-Nya, yaitu tentang hari kebangkitan.
Informasi lengkap yang Allah sajikan dalam 5 ayat ini merupakan peringatan dan pembelajaran terhadap manusia tentang penciptaan hingga akhir dari sesuatu yang diciptakan. Ayat-ayat ini dapat menjadi bahan renungan manusia untuk tetap bersyukur terhadap apa yang ia dapatkan dari penciptaan Allah, dan juga untuk tetap berhati-hati menjalani kehidupan yang sementara, kehidupan yang akan segera berakhir. Hingga pada saatnya nanti dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan selama di dunia. 
Berbeda dengan yang sebelumnya, ayat ini menjelaskan tentang kesempunaan manusia. Allah memberitahukan tentang betapa manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Bahkan ada 3 sumpah yang mendahului pernyataan tentang betapa Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Namun di balik kesempurnaan manusia yang Allah sampaikan, setelah itu Allah langsung mengingatkan tentang manusia akan dimasukkan ke tempat yang hina dina. Manusia yang tidak memanfaatkan kesempurnaan ciptaan Allah dengan baik akan mendapatkan kehinaan, begitulah kurang lebih pesan yang ingin disampaikan Allah. Namun setelah peringatan, Allah memberi kabar gambira kepada ummat manusia, tentang pengecualian manusia yang mendapat tempat hina dina. Dibalik informasi tentang penciptaan, ada teguran. Dan dibalik teguran ada kabar gembira. Demikian cara Allah memberikan informasi, teguran, dan kabar gembira terhadap manusia dalam surah at-Tin ayat 1-6.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa penciptaan manusia melalui berbagai macam proses yang cukup rumit. Di surah selanjutnya dijelaskan tentang manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Setelah menjelaskan tentang proses dan bentuk penciptaan manusia, ayat ini  juga sekaligus memberi peringatan dan kabar gembira bahwa semua yang diciptakan oleh Allah swt. pasti akan kembali pada-Nya dan kemudian dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatannya selama di dunia.




DAFTAR PUSTAKA
Groves, Colin (2005-09-16). Wilson, D. E., dan Reeder, D. M. (eds), ed. Mammal Species of the World (edisi ketiga ed.). Johns Hopkins University Press.
Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Dr. Abdullah. Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsi. Mu-assasah Daar al-Hilaal. Kairo. 1994.
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia