MAKALAH ILMU DAKWAH I Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Dakwah DOSEN PEMBIMBING Ust. Drs. H. Maftuhin Abbas, MA ...

MAKALAH ILMU DAKWAH I
Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Dakwah

DOSEN PEMBIMBING
Ust. Drs. H. Maftuhin Abbas, MA





DISUSUN OLEH
Muh. Yahya Saraka
Zakiyuddin



INSTITUT PTIQ JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2016/2017

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kita nikmat yang begitu besar, berupa nikmat Islam dan iman. Shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan ke haribaan baginda Muhammad Saw. yang dengannya kita dapat merasakan betapa indahnya Islam.
Ucapan terima kasih kami kepada seluruh pihak yang senantiasa memberi  bantuan dan dukungan, khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Ilmu Dakwah I Ustadz Drs. H. Maftuhin Abbas, MA.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa dalam makalah  ini masih terdapat banyak kesalahan  dari berbagai aspek. Olehnya, kami memohon dengan hormat  kepada seluruh pembaca agar dapat memberikan masukan ataupun kritikan yang bersifat membangun, agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.


Jakarta, 06 Februari 2017

Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... i....
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A.    Pengantar Ontologi, Aksiologi dan Epistimologi.............................. 1
BAB II Pembahasan
A.    Ontologi Dakwah.............................................................................. 3
B.     Aksiologi  Dakwah............................................................................ 7
C.     Epistimologi Dakwah........................................................................ 9
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan...................................................................................... 11

Daftar Pustaka................................................................................................... 12


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengantar Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi

1.      Ontologi
Ontologi adalah reori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas. Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan : apakah sesungguhnya hakikat dari realitas yang ada ini; apakah realitas yang ada ini sesuatu realita materi saja; adakah sesuatu di balik realita itu; apakah realita ini monoisme, dualisme, atau pluralisme. Menurut Bramel, interprestasi tentang suatu realita itu dapat bervariasi.
Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis, akan menjadi masalah yang utama. Membimbing untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita itu merupakan stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran itu telah dibina.
2.      Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dicetuskan oleh L. F. Ferier pada abad 19 di Institut of Methaphisycs (1854). Buku Encyclopedia of Phylosophy, dan Brameld mempunyai pengertian yang hampir sama tentang epistemologi. Epistemologi aalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Contoh beberapa pernyataan yang menggunakan kata “tahu” yang berdeda sumber maupun validitasnya:
1.      Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
2.      Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan;
3.      Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya.

3.      Aksiologi
Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai. Ada 3 bagian yang membedakan di dalam aksiologi, yakni moral conduct, esthetic conduct,dan socio-political life. Nilai dan implikasi aksiologi dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Beberapa contoh untuk menilai orang itu baik :
1.      Baik, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada Ibu!
2.      Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?
3.      Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ontologi Dakwah
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Secara bahasa kata ontologi dibagi menjadi dua yaitu ontos: sesuatu yang
berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”. Secara istilah ontologi adalah ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan terakhir baik yang berbentuk jasmani/ konkret maupun rohani / abstrak. Sedangkan kata dakwah berasal dari bahasa arab“Da’a-Yad’u-Da’wan” yang artinya adalah menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah bisa diartikan sebagai mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dari pengertian diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ontologi dalam filsafat Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah Islam dari segi hakikat dakwah islam itu sendiri dalam mengkaji problem ontologis dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah.
Bidang kajian ilmu dakwah bersifat empirik, dalam hal ini harus dibedakan dari kajian ilmu agama yang juga membahas hal-hal yang tidak empirik dalam pengertian tidak dapat dijangkau dengan pengalaman. Jika ilmu agama mengkaji hal-hal seperti ketuhanan, hari kiamat, dan yang sejenisnya, maka ilmu dakwah mengakaji hal-hal yang  berkaitan dengan kehidupan manusia, sosial, kehidupan keagamaan, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat dimana  kesemua hal diatas dapat diverifikasi/ diuji langsung (empiris).
Dalam memandang bidang atau objek  kajiannya tersebut, ilmu dakwah memiliki tiga asumsi dasar. Pada asumsi dasar, pertama dikatakan bahwa objek tertentu memiliki keserupaan dengan objek yang lain. berdasarkan asumi ini, objek-objek yang memiliki keserupaan kemudian diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok. Asumsi yang keduaadalah  suatu objek memiliki tingakah khusus di dalam kegiatan tertentu. Suatu obyek memiliki perilaku tertentu jika ia berada di dalam situasi tertentu. Misalnya kehidupan keagamaan masyarakat memiliki corak yang beragam tergantung pada letak geografis atau komposisi demografisnya. Perilaku-perilaku ini akan melahirkan gejala-gejala tertentu sehigga asumsiketiga menyatakan bahwa gejala (pada suatu objek) bukanlah kejadian kebetulan tetapi ada pola tertentu yang bersifat tetap berdsarkan urutan-urutan yang sama. Hal ini memungkinkan kita untuk mengamati suatu gejala di dalam riset untuk manrik kesimpulan. Jika gejala yang ada bersifat tidak teratur tanpa mengikuti pola tertentu maka akan susah menarik kesimpulan.
Ketika membahas landasan ontologis ilmu dakwah maka kita akan bertemu isitilah-istilah filsafat ilmu seperti adanya aspek fenomental dan aspek structural. Aspek fenomentalmenunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok“elit” yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut paradigma Mertan disebut universalisme, komunisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan melalui karya-karya publikasi dan kemudian diwariskan kepada madsyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukan bahwa ilmu dakwah disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui(Gegenstand).
2.       Objek sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti, adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan baru yang mendorong terus dipertanyakan.\
3.       Ada alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4.       jawaban yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Ketika berbicara mengenai ontologi dakwah, maka ada tiga hal mendasar yang harus dilihat secara cermat dalam kajian tersebut yaitu:
1.      Manusia (sebagai pelaku dan penerima dakwah)
Pertanyaan tentang siapakah manusia itu telah muncul sejak manusia  berada dimuka bumi, dan jawabanya disusun sesuai dengan perkembangan pola pikir dan pengetahuan manusia itu sendiri. Jawaban dari pertanyaan tersebut  dapat dijabarkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial, ekonomi dan lain-lain, yang setidaknya memuat jawaban bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu, pertama jasad material yang tidak ada bedanya dengan binatang). Sedangkan unsur yang kedua adalah jiwa yang bersifat ruhaniyah, yang memungkinkan manusia untuk berfikir dan berkembang secara dinamis. Inilah yang membedakan antara manusia dan binatang.
Manusia dalam pandangan Al-Qur’an dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain (At-Tin:4) dan diangkat derajatnya sebagai makhluk yang mengungguli alam surga bahkan malaikat sekalipun. Akan tetapi dalam beberapa tempat manusia juga direndahkan derajatnya, hal ini karena manusia dilengkapi dengan sifat yang baik dan buruk. Dua sifat ini dapat dipahami dari dua unsur beku penciptaan manusia, unsur materi yang terdiri dari tanah liat yang kering dimana hal ini mengambarkan sifat kerendahan. Unsur kedua adalah ruh Allah yang ditiupkan dalam diri manusia, hal inilah yang mengambarkan sifat sucinya manusia. Dua sifat yang berlawanan ini mawarnai kehidupan dam memaksa manusia untuk memilihnya. Dari pilihan manusia itulah yang akan menentukan nasibnya kelak dikemudian hari.
Sedangakan manusia dalam pandangan dakwah pada hakikatnya adalah bahwa manusia dicipta dalam kondisi yang cenderung pada agama Allah. Hal ini telah ada sejak manusia dalam kandungan, dimana manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya, sehingga Allah melengkapi manusia dengan dua fungsi utama (sebagai kahlifah dan kehambaan). Sepanjag perjalana hidup manusia selalu dihadapkan pada berbagai macam rintangan dan hambatan yang menggoda fitrahnya. Dalam posisi tersebut manusia harus memilih antara baik dan buruk. Oleh sebab itu Allah memberikan jembatan “dakwah” agar manusia tetap berjalan secara konsisten dalam fitrahnya (jalan tuhanya), Hal ini telah dijelaskan dalam QS. An-Nahl:125
2.      Islam sebagai pesan dakwah
·   Untuk menjaga eksistensinya sebagai makhluk dua dimensi, maka manusia membutuhkan dua haldasar yang harus dipenuhi yaitu material ( sandang, pangan dan papan) dan spiritual (agama). Agama secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan manusia yang berkaitan dengan ketuhanan, yang dijelaskan dalam ajaran akidah, yang berisi tentang siapa tuhan yang sebenarnya harus disembah. Jawaban tentang rasa sosial manusia dijabarkan dalam ajaran syari’at yang mengatur tentan bagaimana kehidupan manusia bisa berjalan dengan harmonis. Sedangkan pertanyaan tentang etika dijelaskan oleh islam dalam ajaran akhlak, yang mengatur tentang bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya.
3.      Dakwah dan Hidayah
Hidayah merupakan penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan, sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Dalam hal ini hidayah tuhan yang berupa ajaran islam akan sampai kepada manusia itu melalui proses, maka dalam proses inilah dakwah berperan sentral. Sehingga bisa dikatakan bahwa posisi dakwah dalam hal ini adalah upaya atau proses untuk mengajak dan merayu manusia agar kembali atau tetap berada dan meningkatkan fitrahnya, yakni dalam ketuhanan, sosial dan etika yang sesuai dengan ajaran islam sehingga dapat terwujud kehidupan manusia yang khoiru ummah.
B.     Aksiologi Dakwah
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang filsafat. Pembicaraan nilai dalam bahasa yang paling umum dan sederhana (menurut konsep orang awam) seringkali dikaitkan dengan baik dan buruk, manfaat tidak manfaat. Sesuatu dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau manfaat dalam kehidupan, misalnya, nilai sebuah pisau, nilai orang, nilai sehat, nilai sebuah barang dan nilai lain. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari ada sesuatu yang bernilai dan ada yang diberi nilai (nilai intrinsik dan nilai instrumental).
Katsoff (1987) menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan:
1.      Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan (h. 333-336)
2.      Nilai sebagai objek suatu kepentingan (h. 337-339)
3.       Nilai pragmatis (inilah hasil pemberian nilai) (h. 339-343)
4.       Nilai sebagai esensi (h. 343-347)
Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas (gejala yang ada), bagi Bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar, sedangkan menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran.
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Quran yang relevan, adalah untuk:
1.      Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”  (QS 41:53)
2.       Mendekatkan diri kepada Allah sebagai kebenaran. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”(QS.51:56)
3.       Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam (Rahmat li al-Alamin).“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS.21:107)
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
1.      Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam  menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
2.      Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
3.      Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
 Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan mengandung konsekuensi yang berbeda.
1.        Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2.        Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a.    Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b.    Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
C.    Epistimologi Dakwah
Epistemologi dakwah adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Pada dasarnya epistemologi adalah bahasa Yunani dan berasal dari dua kata yaitu, episteme yang berarti pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan logos yang berarti teori, informasi. Dengan demikian dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan atau teori pengetahuan. Dan dakwah secara bahasa, berasal dari padanan kata da’a- yuda’i- du’a’an wa da’watan. Dalam al-Qur’an istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh kali dengan berbagai arti yang berbeda yaitu: ajakan, seruan, pembuktian dan do’a. Dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran agama Islam agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan manusia dan mengajak manusia kepada jalan yang diridhoi Allah.
Dari dua pengertian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa Epistemologi Dakwah adalah kajian filosofis terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya, dan validitas dakwah adalah pengetahuan yang diperoleh dari sumbernya melalui metode ilmiah, dan belum bisa disebut sebagai ilmu apabila belum terujI secara ilmiah atau tidak memiliki validitas ilmiah. Dalam menguji keilmuan ada dua teori yang dapat digunakan untuk menguji validitas suatu disiplin ilmu, yaitu teori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi menyebutkan bahwa kebenaran ditegakkan atas hubungan keputusan baru dengan keputusan-keputusan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu. Suatu proposisi dikatakan benar jika ia berhubungan dengan keberanian yang telah ada dalam pengalaman manusia.
 Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran atau keadaan benar itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau fakta-faktanya. Kebenaran adalah sesuatu yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi aktual. Dari teori korespondensi dapat diketahui bahwa yang pertama ada pernyataan dan kedua ada kenyataan. Dengan demikian, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan tentang sesuatu, misalnya di Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta ada Progam Studi Komunikasi Penyiaran Islam, dan jika kenyataan bahwa di Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta ada Progam Studi Komunikasi Penyiaran Islam (melalui observasi), maka terdapat kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Menrut Aristoteles, teori korespondensi disebut teori penggambaran, yang premisnya berbunyi “kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dengan kenyataan”.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan




























Daftar Pustaka
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Loren Bagus, Ilmu Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Abdul Kadir Sayid Abdul Rauf, Dirasah Fi Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar El-Tiba`ahAl-Mahmadiyah, 1987.
Drs. Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta: TERAS, 2006.

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM KHULAFA AR-RASYIDIN ALI BIN ABI THALIB DOSEN PEMBIMBING : Drs. HM. Maftuchin Abbas, ...


MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
KHULAFA AR-RASYIDIN ALI BIN ABI THALIB






DOSEN PEMBIMBING :
Drs. HM. Maftuchin Abbas, MA


DISUSUN OLEH :
Muh. Yahya Saraka




INSTITUT PTIQ JAKARTA
FAKULTAS DAKWAH
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2016//2017


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kita nikmat yang begitu besar, berupa nikmat Islam dan iman. Shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan ke haribaan baginda Muhammad SAW, yang dengannya kita dapat merasakan betapa indahnya Islam.
Ucapan terima kasih kami kepada seluruh pihak yang senantiasa memberi  bantuan dan dukungan, khususnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam, bapak Drs. HM. Maftuchin Abbas, MA, yang senantiasa memberi kami saran dan masukan dalam hal penyusunan makalah Sejarah Peradaban Islam.
Makalah ini kami susun untuk menyegarkan kembali ingatan kita tentang sejarah para Khalifah dimasa lalu, khususnya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, tentang perjuangan beliau dalam memimpin islam kala itu. Di samping itu penyusunan makalah kami ini juga didasari oleh adanya tugas yang diberikan kepada kami dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam untuk membahas tentang sejarah Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa dalam makalah kami ini masih terdapat banyak kesalahan  dari berbagai aspek. Olehnya itu kami memohon dengan hormat  kepada seluruh pembaca agar dapat memberikan masukan ataupun kritikan yang bersifat membangun, agar dalam penyusunan makalah kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Jakarta, 12 Oktober 2016

Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... i....
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang.................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................. 2
C.     Tujuan dan Manfaat.......................................................................... 2
BAB II Pembahasan
A.    Perpecahan Ummat Islam.................................................................. 3
B.     Munculnya Sekte-Sekte (Syiah-Khawarij)...................................... 10
C.     Akhir Masa Khulafa Ar-Rasyidin................................................... 12
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan...................................................................................... 14

Daftar Pustaka................................................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Imam Ali r.a merupakan anak dari Abu Thalib, saudara kandung  dari Abdullah ayah Nabi Muhammad SAW. Abdul Muththalib bin Hasyim adalah kakek dari Nabi Muhammad SAW dan imam Ali r.a.
            Mengenai hari lahir imam Ali r.a., berbagai sumber riwayat berbeda pendapat, tetapi sebagian besar mengatakan bahwa ia lahir pada hari jumat malam tanggal 10 bulan Rajab.
            Sepeninggal Rasulullah SAW, imam Ali r.a adalah kandidat terkuat untuk menjadi khalifah saat itu, dikerenakan adanya ketetapan dari Nabi jauh sebelum Beliau wafat, yang menegaskan bahwa Ali r.a adalah satu-satunya penerus kekhalifaan yang sah[1]. Namun jika kita tinjau dari sisi lain, bahwa yang mengantikan Nabi menjadi imam shalat pada saat Nabi sakit dan tidak dapat ke masjid adalah Abu Bakar r.a, yang mengindikasikan bahwa Abu Bakar r.a adalah orang yang dipercaya oleh Nabi SAW untuk memimpin ummat Islam sepeninggal beliau.
            Permasalahan yang dihadapi imam Ali r.a sangatlah berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah-Khalifah sebelumnya. Timbulnya perpecahan dalam diri Islam menjadikan beliau harus bersabar, bijaksana dan tegas dalam semua sendi kepemerintahannya karena yang diperangi beliau bukan lagi orang-orang kafir yang ingin menjatuhkan Islam, melaikan para sahabat Nabi, bahkan istri Nabi sendiri.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja permasalahan-permasalahan yang dihadapi imam Ali r.a ?
2.      Apa penyebab munculnya sekte-sekte dalam Islam (Syiah-Khawarij)?
3.      Bagaimana keadaan pada akhir masa Khulafa ar-Rasyidin?

C.    Tujuan dan Manfaat
1.      Tujuan :
·         Memberikan kita pengetahuan tentang perjuangan imam Ali r.a mengatasi perpecahan dalam diri Islam.
·         Memberikan kita pengetahuan tentang awal mula dan penyebab munculnya sekte-sekte dalam Islam (Syiah-Khawarij).
·         Memberikan kita pengetahuan tentang bagaimana keadaan pada akhir masa Khulafa ar-Rasyidin.
2.      Manfaat :
·         Agar kita mengetahui perjuangan Imam Ali mengatasi perpecahan ummat Islam.
·         Agar kita dapat mengetahui awal mula dan penyebab munculnya sekte-sekte dalam Islam (Syiah-Khawarij).
·         Agar kita mengetahui bagaiman keadaaan pada akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perpecahan Ummat Islam

Perpecahan ummat Islam tak dapat dipisahkan dari berbagai perang saudara yang terjadi selama masa kekhalifaan Ali r.a. Bermula ketika perang Unta meletus, kemudian diikuti oleh perang Shiffin dan diakhiri dengan perang Nahrawan. Semua itu menjadi catatan kelam sejarah Islam hingga saat ini dan tak dapat kita lupakan.
Kami akan menjelaskan lebih detail tentang peperangan-peperangan yang mengakibatkan perpecahan dalam Islam sebagai berikut :
1.      Perang Jamal
Setelah wafatnya Khalifah Utsman r.a, pembaiatan Ali r.a sebagai Khalifah segera dilakukan. Orang-orang yang sebelumnya memberontak lambat laun melemah dan mendekati Ali r.a agar segera mengusut tuntas dan menghukum pembunuh Utsman r.a.
Thalha dan Zubayr bersama penduduk Makkah dan Madinah menyuarakan agar pembunuh Khalifah Utsman r.a segera dijatuhkan hukuman hadd.  Namun di balik itu, Thalha dan Zubayr menyimpan rasa sakit hati setelah tidak diberi jatah jabatan oleh Khalifah Ali, sementara keduanya ikut membaiat Ali menjadi pemimpin ummat Islam kala itu.
Thalha dan Zubayr didukung ratusan pennduduk Makkah dan Madinah, termasuk Aisyah r.a. Mereka bergerak menuju Bashrah untuk  membalas dendam atas kematian Utsman r.a. Aisyah r.a turut berangkat meninggalkan Makkah. Ia diantar oleh beberapa orang istri nabi lainnya.
 Mendengar berita berangktanya pasukan Thalhah, Zubayr dan Aisyah r.a ke Bashrah untuk mencari pembunuh Utsman, imam Ali r.a pun mengumpulkan para Sahabat Nabi terkemuka, baik dari kaum Muhajirin dan Anshar. Kepada mereka ia menegaskan tekadnya, Allah Azza wa Jalla senantiasa membuka pintu maaf dan ampunan bagi orang yang berbuat zalim di kalangan ummat ini. Allah akan melimpahkan kemenangan dan keselamatan kepada setiap orang yang menaati perintahnya dan berbuat lurus. Lantas imam Ali berkata, sesungguhnya Thalha, Zubayr dan Aisyah telah bekerja sama menyebarkan kebencian terhadap kekhalifaanku, dan mereka berseru kepada kaum muslimin supaya bergerak memperbaiki keadaan. Selagi aku tidak mengkhawatirkan timbulnya bencana perpecahan ummat islam, aku akan tetap bersabar, aku tidak akan bergerak jika mereka tidak bergerak. Lantas imam Ali hanya memantau berita tentang gerak gerik mereka. Imam Ali hanya tinggal di Madinah dan terus memohon kepada Allah supaya mengembalikan persatuan ummat Islam.
Setelah mengetahui jatuhnya kekuasaan Bashrah ditangan Thalha, Zubayr dan Aisyah. Imam Ali r.a selaku Khalifah lantas bersiap menuju Bashrah untuk melakukan perdamaian. Pada mulanya imam Ali r.a tidak percaya bahwa Thalha, Zubayr dan Aisyah r.a berniat untuk memeranginya. Karena itulah ia ingin segera bertemu dengan mereka untuk mempersatukan barisan sebelum berangkat ke Syam guna menekan Mu’awiyah supaya taat kepada Khalifah.
            Di dekat perbatasan kota Bashrah, dua pasukan besar saling berhadapan, yaitu pasukan imam Ali r.a dan pasukan pemberontak di bawah pimpinan Thalha Zubayr dan Aisyah r.a.
            Di tengah ketegangan tersebut, muncul salah seorang pembesar dari Bashrah yang telah membai’at imam Ali, dan berkata.  Rakyat kami beranggapan bahwa engaku akan meraih kemenangan pada perang ini, engkau pasti akan membunuh mereka semua dan engkau akan menjadikan mereka semua budak-budak. Iimam Ali lantas menjawab,  sesungguhnya kekhawatiranmu itu tidak akan terjadi, bukankah mereka semua itu ada saudara kita dan islam melarang hal tersebut, kecuali kepada mereka yang kafir dan murtad dari Islam. Dalam pernyataannya tersebut imam Ali r.a hendak menegaskan sikapnya, bahwa orang yang mencederai baiat itu bukanlah orang-orang kafir dan murtad, melaikan mereka telah mencederai janji mereka.
            Al- Muqhirah bin Syu’bah yang mendengar percakapan tersebut lantas mendekati imam Ali r.a, seraya berkata, “anda boleh memilih antara aku berperang di pihak anda dengan 4.000 pasukan atau mencegah 10.000 pedang mendarat di hadapan anda.
Pada dasarnya imam Ali r.a tidak menginginkan adanya perpecahan dan peperangan antara ummat Islam itu sendiri, sehingga pada saat itu, imam Ali r.a memilih untuk mencegah  pasukan tersebut ikut dalam peperangan.
            Al- Muqhirah lantas berteriak memanggil seluruh pasukannya dari kedua belah pihak. Seluruh pasukan al-Muqhirah lantas berkumpul dan mereka tunduk di bawah perintah al-Muqhirah untuk meninggalkan lokasi perang saat itu. Menurut sebuah riwayat, seusai perang, seluruh pengikut al-Muqhirah membaiat  imam Ali r.a.
            Tak lama setelah al-Muqirah dan pasukannya pergi, keluarlah Zubayr dari barisan pasukannya menunggangi kuda dengan persenjataan lengkap, setelah itu menyusul Thalha keluar dari barisan pasukannya ingin bertatap muka langsung dengan imam Ali r.a.
Setelah bertemu, terjadilah perdebatan seru, namun Zubayr tak berkutik, air matanya tampak resah ingin keluar, ia teringat masa-masa bersama Ali di bawah kepemimpinan Rasulullah di medan perang melawan kaum musyrikin,. Berbeda dengan “Thalha” yang malah berani membentak imam Ali. Thalhah kemudian membalikkan badan, membuang muka lalu pergi menuju pasukannya. Melihat perilaku Thalhah imam Ali r.a lantas kembali ke tengah-tengah pasukannya.
            Beberapa saat lamanya imam Ali r.a menunggu serangan dari lawan, tetapi tidak terlihat tanda-tanda akan datangnya serangan. Pada saat itulah imam Ali r.a merasa masih perlu berdialog dengan Thalhah dan Zubayr. Namun imam Ali r.a hanya bisa bertemu dengan Zubayr di tengah-tengah pasukan keduanya. Imam Ali r.a dan Zubayr hanya saling beradu pandang tanpa ada percakapan apapun, sampai keduanya tak sanggup lagi menahan haru dan iba, akhirnya mereka saling merangkul satu sama lain seraya menangis teringat kenangan masa lalu mereka bersama Rasulullah.
            Setelah dialog di antara keduanya berakhir, imam Ali r.a pun beranjak kembali ke pasukannya, begitu pula dengan Zubayr, Namun belum berapa jauh Zubayr berjalan, ia dihujani anak panah yang datang dari kubu pasukan Thalhah. Ia tewas seketika.
            Setelah peristiwa itu, perang tidak dapat terelakkan lagi. Aisyah r.a  kemudian mengirim Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut  ‘Abdullah bin Saba’ membidiknya dengan anak panah hingga ia tewas. Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.
            Perang Jamal pun meletus tepat pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifaan Ali r.a. Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam hari itu.
            Dalam peperangan ini Ali r.a disertai 10.000 pasukan, sementara pasukan jamal berjumlah antara 5.000 - 6.000 prajurit. Pada perang ini banyak kaum muslim yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah SWT agar menyelamatkan pedang-pedang darinya.
            Pasca perang, Ali r.a berjalan di antara korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah, setelah mendudukkannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata : “alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun menangis seraya berkata, “seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.”
            Setelah itu  Ali r.a menemui Aisyah r.a , kemudian mengantarnya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan.
            Akibat apakah yang ditimbulkan oleh bencana perang Unta? Orang yang arif dan berpengalaman tentu dapat menulis buku khusus untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, bagi kami sendiri, cukuplah kiranya kalau menunjukkan hal-hal berikut :
            Kalau tidak terjadi bencana perang Unta, tentu tidak akan terjadi perang Shiffin dan perang Nahrawan ; tidak akan terjadi pembantaian “karbala”; kesucian Ka’bah tentu tidak akan diinjak-injak dengan lemparan manjaniq[2] lebih dari satu kali.
            Bencana perang Unta mencakup semua bentuk kenistaan dan cacat kekurangan, karena bencana tersebut merupakan sebab kelemahan dan kemerosotan kaum muslimin; sebab membuat mereka mudah diperbudak orang asing dan membuat negeri mereka dapat dirampas dan dijarah. Perang Unta adalah awal bencana yang mengobrak-abrik kerukunan ummat Islam sehingga mereka saling membunuh dan saling menghancurkan, padahal sebelum itu mereka  merupakan kekuatan hebat yang sanggup mengalahkan musuh-musuhnya. Kenyataan itu yang membuka kesempatan bagi terjadinya berbagai macam bencana dan perang saudara yang terjadi silih berganti, merobek-robek kesatuan ummat Islam.
            Tokoh-tokoh yang mencetus terjadinya perang Unta berdalih bahwa mereka menuntut balas atas kematian Utsman r.a , sekalipun hal tersebut mereka lakukan dengan tulus dan jujur, namun dapat kita saksikan bahwa mereka menuntut untuk membalas kematian satu orang dengan mengorbankan ribuan nyawa ummat Islam yang tidak bersalah. Mereka menyeret agama kedalam malapetaka dan bencana.

2.       Perang Shiffin
Perang Shiffin berkecamuk setelah perang Unta mereda, yakni bertepatan pada tahun 37 H, di bulan Shafar. Perang ini di latar belakangi enggannya Mu’awiyah membai’at Ali menjadi Khalifah sampai dilakukannya qishas terhadap pembunuh Utsman..
            Lantas Mu’awiyah berseru kepada penduduk Syam untuk membaiatnya sebagai Amirul Mu’minin.  Hal tersebut memicu timbulnya tantangan dan protes dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in. Mereka mengatakan bahwa orang yang membunuh Utsman r.a tidak lebih besar dosanya dari pada orang yang membaiat Mu’awiyah sebagai Khalifah.
            Setelah dibaiat sebagai Amirul Mu’minin tandingan di Syam, Mu’awiyah mengirim sepucuk surat kepada imam Ali r.a., penuh dengan celaan, cercaan, dan tuduhan. Mu’awiyah dengan suratnya itu sudah sekian kali menantang dan memprovokasi imam Ali r.a supaya mengobarkan perang..
            Meskipun Mu’awiyah secara terang-terangan menyatakan pembangkangan terhadap Amirul Mu’minin. Imam Ali r.a tidak pernah berniat menumpas pemberontakan itu dengan jalan peperangan.
            Hingga imam Ali r.a memandang, telah tiba saatnya untuk mengutus Jarir bin Abdullah berangkat ke Syam membawa surat khusus untuk disampaikan langsung kepada Mu’awiyah. Adapun surat imam Ali r.a tersebut berisi tentang baiat diberikan kaum muslimin di Madinah bersifat mengikat kepada diri Mu’awiayah, sekalipun Mua’wiyah  berada di Syam. Inti dari surat khusus yang dikirim Khalifah Ali r.a itu menegaskan kepada Mu’awiyah untuk tunduk kepada Khalifah yang sah yakni imam Ali r.a dan mengingatkan tentang apa yang telah terjadi pada Thalha dan Zubayr yang mati dalam perang Unta.
            Membaca surta tersebut Mu’awiyah lantas mempersiapkan pasukannya sebanyak 70.000 personil untuk membendung serangan Ali r.a yang telah bersiap untuk menumpasnya dengan kekuatan 100.000 pasukan.
            Perang  pun tak terelakkan, kedua pasukan saling jual beli serang. Terik matahari tak terasa lagi, darah mengalir deras seolah tidak membuat gentar pasukan dari dua kubu ini untuk mundur. Hingga pada saat-saat terakhir, Khalifah Ali r.a memerintahkan kepada seluruh Panglima perangnya melakukan serangan umum besar-besaran untuk melumpukah seluruh pasukan dari Mu’awiyah.
            Imam Ali yang dikenal dengan kecerdikannya memimpin pasukan berhasil menembus seluruh blokade pasukan Mu’awiyah. Hal tersebut membuat Mu’awiyah mulai cemas akan keadaan pasukannya yang berjatuhan di medan perang.
Pada saat itu muncullah salah seorang penasehat Mu’awiyah, “Amr bin al-Ash, yang membisikkan Mu’awiyah untuk melakukan Tahkim bi Kitabillah atau Penyelesaian Damai Berdasarkan Hukum Al-Qur’an.[3]
`           Perang Shiffin pun berakhir dengan tahkim (arbitrase). Ali r.a rela melakukan tahkim, lalu kembali ke Kufah. Sementara Mua’wiyah kembali ke Syam. Tahkim itu sendiri akan dilakukan pada bulan Ramadhan. Untuk hal tersebut Ali r.a mengutus Abu Musa al-As’ari’ r.a , sedang Mu’awiyah r.a mengutus ‘Amr bin al-Ash r.a’.
3.      Perang Nahrawan
Perang Nahrawan terjadi setelah adanya perpecahan di dalam pasukan imam Ali, yang dimana mereka adalah orang-orang yang tidak menerima adanya tahkim. Sehingga mereka disebut kaum Khawarij (kaum yang membelot).
Perang ini melibatkan pasukan Khulafa ar-Rasyidin Ali r.a sebanyak 10.000 prajurit melawan kaum Khawarij dengan 4.000 prajurit di lembah Nahrawan (Irak). Dalam peperangan tersebut imam Ali r.a keluar sebagai pemenang. Sebagian besar pasukan dari kaum Khawarij meninggal dalam peperangan tersebut, sebagian lagi lari menyelamatkan diri.
Setelah perang Nahrawan, kaum Khawarij masih menyimpan dendam kepada khalifa Ali r.a. kaum Khawarij bahkan beranggapan bahwa imam Ali r.a telah keluar dari islam dan boleh dialirkan darahnya (dibunuh).
Dalam beberapa literatur islam, dijelaskan bahwa orang yang membunuh Khalifa Ali adalah salah seorang dari kaum Khawarij yang membalas dendam atas kematian keluarganya dalam perang Nahrawan.

B.     Munculnya Sekte-Sekte (Syiah-Khawarij)
Munculnya sekte-sekte (Syiah-Khawarij) tak dapat dipisahkan dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah islam. Baik pada masa Rasulullah hingga akhir masa Khulafa ar-Rasyidin berakhir.
            Adapun perincian tentang awal mula munculnya sekte-sekte tersebut (Syiah-Khawarij) akan dijelaskan lebih lanjut.
1.      Awal Mula Munculnya Sekte Syiah
Syiah dapat diartikan sebagai pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara garis besar sekte Syiah dapat dikatakan sebagai orang-orang yang setia dan mendukung imam Ali r.a sepenuh jiwa mereka, bahkan di antara kaum Syiah ada yang sampai menyakini bahwa adanya unsur ketuhanan dalam diri imam Ali r.a atau menuhankan Ali r.a.
Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan[4] , seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’ menyatakan diri masuk Islam.
Setelah Abdullah bin Saba’ menyatakan diri masuk Islam, ia pun mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan. Demi menyebar luaskan ajarannya tersebut, Abdullah bin Saba’ kemudian mengembara ke berbagai kota besar Islam seperti Mesir, Basrah dan Kufah.
Pada saat imam Ali r.a memindahkan kekhalifaannya ke Kufah kebanyakan orang Kuffah telah terpengaruh oleh ajaran Abdullah bin Saba’.
Sesampainya di Kuffah, imam Ali r.a  didatangi oleh banyak orang yang menyatakan dukungan dan rasa cintanya yang berlebih terhadap beliau. Ketika Khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?” mereka menjawab, “Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok yang dikenal sangat fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “Syiah”.
Dari literatur islam lainnya dijelaskan bahwa madzhab Syiah pertama kali muncul bertepatan pada hari karbala[5], dimana al-Husain, anak dari Ali r.a atau cucu dari Rasulullah SAW dibantai dan dipenggal kepalanya di karbala oleh Umar anak dari Sa’ad ibn Abi Waqqash, seorang jendral terkenal.
Cucu Nabi Muhammad SAW tercinta gugur dengan bekas luka di sekujur tubuhnya. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Yazid di Damaskus, yang kemudian diserahkan kepada saudara perempuan dan anak Husain, yang selamat dari pembantaian dan ikut digiring ke Damaskus[6]. Kepala Husain kemudian dikuburkan bersama tubuhnya di Karbala.
Sejak saat itu, kedudukan imam yang diwariskan turun temurun kepada keturunan Ali r.a menjadi salah satu dogma dalam ajaran Syiah, yang setara dengan kenabian Muhammad SAW dalam Islam. 
2.      Awal Mulu Munculnya Sekte Khawarij
Sekte Khawarij adalah pengikut imam Ali r.a dalam Perang Shiffin yang tidak setuju dengan pandangan Ali atas diadakannya Tahkim, karena mereka beranggapan hal tersebut merugikan kubu Ali selaku pihak yang hampir menang pada perang Shiffin.
Sebanyak 12.000 pasukan imam Ali menolak proses tahkim, meski awalnya mereka mendesak imam Ali untuk menerimanya, bahkan di antara mereka ada yang berani beranggapan imam Ali kafir.
Dalam perjalanan ke Kuffah, mereka tiba di salah satu perkamupungan Kuffah bernama Hurura’.  Mulai saat itulah mereka dikenal dengan sebutan kaum Hururiyyah, yaitu kelompok Khawarij.
Ali dan sejumlah tokoh mendebat dan mematahkan pendapat mereka. Namun mereka bersikeras dan enggan mengalah. Mereka hanya menerima dan menyetujui pemikiran mereka sendiri. Mereka menanyakan hukum tahkim  kepada setiap orang yang ditemui. Mereka akan langsung membunuh orang yang menerima tahkim karena menurutnya murtad dan kafir.
Pada 38 H, mereka diperangi Ali, banyak di antara mereka yang mati terbunuh, dan sisanya melarikan diri. Setelah kejadian itu mereka terbagi menjadi beberapa kelompok.
C.    Akhir Masa Khulafaa ar-Rasyidin
Pada 16 Ramadhan[7] tahun 40 H sebelum fajar, dua orang Khawarij membuntuti imam Ali yang keluar hendak membangunkan orang untuk shalat. Ketika Ali r.a sedang berjalan menuju masjid Kufah, ia terkena hantaman pedang di dahinya. Pedang tersebut, yang mengenai otaknya, diayunkan ‘Abd al-Rahman ibnu Muljam salah seorang dari kelompok Khawarij, yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita temannya yang terbunuh di Nahwaran.
Pada bulan Syawal 40 H penduduk Madinah pun membaiat Hasan putra Ali sebagai Khalifah. Namun Hasan menyerahkan jabatan Khalifah kepada Mu’awiyah demi persatuan ummat pada 25 Rabiul Awal 41 H.  Tahun itu pun dikenal sebagai “tahun perdamaian”.
Dengan meninggal Ali r.a (661 M/40 H), pemerintahan yang dapat kita sebut sebagai priode kekhalifaan republik-dimulai sejak kekhalifaan Abu Bakar telah berakhir. Empat khalifah pada masa itu dikenal dengan sebutan ar-Rasyidin.
Pendiri kekhalifaan kedua, Mu’awiyah dari keluarga Umayyah, menunjuk puteranya sendiri, Yazid sebagai penerusnya sehingga ia menjadi seorang pendiri sebuah dinasti yang juga menandakan berakhirnya masa Khulafa ar-Rasyidin.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Perpecahan ummat Islam pada masa Khalifah Ali r.a menjadikan persatuan dan kesatuan kita sebagai ummat muslim terpecah belah. Dimulai dari meletusnya perang Unta (Jamal) yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai perang saudara lainnya.
Oleh karena itu kita dapat berkaca pada kejadian masa lalu Islam, betapa berharganya persatuan dan kesatuan itu untuk tetap kita jaga.
Sementara alasan di balik munculnya sekte-sekte dalam Islam itu sndiri tidak dapat kita pisahkan dari berbagai perang yang terjadi pada masa kekhalifaan Ali. Hal tersebut pula yang melatar belakangi munculnya benih-benih perpecahan dalam Islam.
Dengan meninggalnya Khalifah Ali r.a menandakan akhir dari masa-masa khulafa ar-Rasyidin. Dimulai dari Khalifah Abu Bakar hingga Khalifah Ali. Ditambah dengan dipilihnya Yazid [8] sebagai pemimpin ummat Islam yang lantas merubah sistem kekhalifaan menjadi Dinasti.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamid Al-Husaini. 2008. Imamul Muhtadi: Ali bin Abi Thalib. Bandung: Pustaka Hidayah.
Hitti, Philip K. 1937. History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present. Palgrave Mocmillan: New York.
Ibrahim, Qasim A & Shaleh, Muhammad A. 2014. Al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami. Mu’assasah Iqra’: Kairo






[1]  Pendapat Sebagian Kamu Syiah.
[2]  Senjata kuno sejenis ketapel yang dapat melemparkan batu besar atau bola api
[3]   Yaitu  Menghentikan Peperangan dengan Diangkatnya Mushaf  Al-Qur’an di atas Tombak   
     Sebagai Pertanda Agar Kedua Belah Pihak Mau Berunding.
[4]  Akhir Tahun 35 H
[5]   Tanggal 10 Muharram 61 H
[6]   Ibnu Hajar,, jilid II, hal.17.
[7] Ada Pula yang Mengatakan pada 13 Ramadhan 40 H.
[8]   Putra  Mu’awiyah